6. One Day With Lukas

Start from the beginning
                                    

Iya, ya. Kadang kita menutup mata sama mereka padahal melalui mereka perubahan juga bisa diciptakan. Mereka dengan para pemuda dan pemudi Indonesia yang lain itu sama. Hanya saja latar belakang dan dari mana mereka berasal yang berbeda. Tapi, mereka dan juga kita semua turut andil dalam menciptakan perubahan untuk negara ini.

Terima kasih, Lukas. Jiwa nasionalisme dan semangat persatuanku tiba-tiba keluar.

"Eh, Kas. Kok banyak banget kardus buat apa?" tanyaku saat melihat banyak sekali kardus yang baru saja diturunkan dari mobil.

"Oh, itu kardus yang sebelah lo isinya baju semua. Kalau yang diujung sana, isinya kayak makanan ringan. Itu semua buat anak-anak di sini."

Ya ampun, Lukas dan teman-temannya ini mulia banget ya hatinya.

"Gue sama teman-teman emang udah biasa kayak gini, Ta. Kita sepakat ngeluarin beberapa uang dari gaji kita buat mereka semua. Memang gak banyak sih jumlahnya, tapi kita usahakan cukup."

God, I wanna cry. Aku kok gak pernah kepikiran gitu, ya. "Tapi, kegiatan lo cuma ini doang atau ada yang lain?"

"Sebenarnya banyak sih, Ta. Kadang kita juga ngajak mereka liburan kalau kita juga lagi ada rezeki. Nggak liburan yang mewah sih, tapi seenggaknya mereka senang."

Hmm, Lukas kayaknya harus masuk ke dalam nominasi-nominasi sosok inspiratif yang suka digelar oleh beberapa stasiun televisi, deh.

"Eh Ta, cari makan, yuk? Tapi, gue pamitan dulu."

Aku mengangguk dan dalam beberapa detik Lukas sudah berjalan pergi meninggalkanku untuk berpamitan dengan teman-temannya, juga dengan pengurus panti asuhan ini.

***

"Soto betawi di sini juara lho, Ta."

Aku dan Lukas memasuki sebuah rumah makan yang mempunyai makanan khas Betawi tersebut. Kemudian dengan sigap Lukas memesan dua mangkuk soto dan dua gelas teh manis tanpa bertanya padaku terlebih dahulu.

"Sorry Ta, gue gak bisa ajak lo jalan ke tempat yang biasa orang datengin. Gue bisanya cuma ngajak lo ke tempat tadi doang."

Yah, kok Lukas gitu. Aku justru senang, lho. Dengan adanya dia yang membawaku ke tempat tadi justru membuka banyak sekali pikiranku dan menumbuhkan jiwa sosialku.

"Kok gitu, Kas? Gue senang kok lo ajak ke sana. Malah kalau bisa setiap ada kegiatan kayak gitu lo ajak gue lagi aja."

"Lo seriusan, Ta?"

Aku mengangguk. "Iya, gue malah gak pernah kebayang lho, kalau nge-date sama lo begini."

"Emang kita nge-date ya, Ta?"

Anjir. Malu aku tuh. Ini mulut kenapa lepas kontrol banget, sih. Iya juga, Lukas belum tentu hari ini ngajak jalan buat dating. Parah-parah.

"Bercanda sih, Ta." Dia terkekeh melihat wajah pucatku, "Ta, seriusan gue bercanda. Jangan gitu!"

"Sorry, Kas."

"Kok minta maaf? Lo nggak salah kok."

Haduh. Jadi awkward gini kan.

"Ta, kalau kita seterusnya kayak gini gimana?"

Wait, Lukas barusan ngomong apa? Seterusnya kayak gini?

"Maksudnya?"

"Iya. Kita. Kalau kita seterusnya kayak gini, jalan bareng, makan bareng, ke mana aja bareng gimana?"

"Nggak apa-apa. Boleh-boleh aja."

Aduh kenapa jadi gini sih hatiku. Kenapa deg-degan? Eh, eh, ini kok tangan malah dipegang sama dia. Kita nggak lagi syuting film kan?

"Ta, gue tau banyak banget perbedaan diantara kita. Tapi, gue mau coba bikin perbedaan itu jadi persamaan diantara kita. Lo mau?"

Mau jawab apa aku ini? Ya ampun. Aku nggak pernah nyiapin jawaban apapun kecuali kalau mau ulangan pas waktu masih sekolah dulu. Contekan aja nggak punya.

"Kas ... "

Ucapanku berhenti gitu aja pas liat mata teduh Lukas. Mau bilang meleleh emang eyke es. Tapi, seriusan deh kok jadi aku mau bilang 'iya' aja.

"Mungkin lo kaget ya, Ta. Tapi, gue nggak tau harus gimana lagi ngungkapinnya," lanjutnya.

Aku tarik napas dulu. Mau bilang sesuatu yang tiba-tiba terlitas di kepala.

"Kas. Kita jalanin aja dulu, ya. Promise me that you'll never leave me."

Lukas mengangguk. Kok bahagia gitu ya hatiku. Ya ampun, akhirnya seorang Aretta nggak jomblo lagi setelah hampir dimakan usia. Lebaran kalau ditanya 'udah ada pacar belum?' akhirnya bisa dijawab.

Sehabis makan soto, aku dan dia jalan-jalan nggak jelas muterin Jakarta yang ujung-ujungnya kejebak macet. Kesal banget kan. Mana udah mau maghrib pula, nanti anak perawan dicariin si emak.

Eh iya, eyke tinggal sendiri cyiiin.

"Bentar lagi kan maghrib, Ta. Gue tunggu di mobil aja, ya?"

What? Dari tadi aku ngelamun atau apa? Ini mobil Lukas udah parkir cantik di depan masjid. Ya ampun, ternyata begini ya rasanya. Dia berusaha nggak lihat perbedaan itu dan mencoba buat santai aja ngejalaninnya.

"Gue turun ya, Kas. Bentar doang kok gak lama," ucapku sambil membuka pintu mobil.

"Iya."

***

Genks, makasih banyak lho yang udah baca cerita ini. Sorry updatenya lama mungkin karena efek pengangguran jadi mau ngapain aja males ditambah kue lebaran masih melimpah di rumah bawaanya dimakanin mulu hehe

08:20Where stories live. Discover now