1. Better Than My Prejudice

71K 5.6K 132
                                    

Awalnya, kupikir hidup di Jakarta adalah hal yang paling mengerikan dalam hidup. Terlebih ketika memikirkan hal buruk yang mungkin saja terjadi saat pindah ke kantor baru. Entah itu bermasalah dengan kerjaan atau bahkan teman sekantor. Tapi, nyatanya tidak.

Setelah dua bulan berada di sini, aku merasakan sedikit kenyamanan. Terutama ketika bekerja diantara orang-orang yang baru aku kenal ini. Justru mereka sangat mudah bergaul dan jauh sekali dari prasangkaku kalau orang yang berada di metropolitan itu terkesan individualistis dan cuek.

"Pagi, everybody."

Nah, itu dia yang kumaksud. Suara Disty tadi menjadi contoh ramahnya orang-orang di kantor ini.

"Berisik lo, ah," sahut Alan, salah satu teman sekantorku yang paling asik buat diajak nyinyir. I mean ngegosip. No, diskusi terdengar lebih baik.

"Heh, masih mending gue ucapin selamat pagi kalau enggak, makin ngenes aja hidup lo yang tanpa pendamping itu."

"Sorry. Sekarang lo gak bisa seenaknya aja bilang gue single."

Disty mengerlingkan matanya. "Cewek mana yang kesambet mau sama lo?"

"Wah, lo nggak boleh ngomong sembarangan, Dis," kata Alan, "kenyataan yang sebenarnya itu justru banyak cewek yang ngantri jadi pacar gue. Tapi, gue selektif aja buat milihnya. Makanya agak sedikit kelamaan single."

"Idih, percaya diri banget lo."

"Itu bukan sebuah kepercayaan diri, Dis. Nih, gue kasih tau ya, itu justru adalah sebuah prestasi," bisik Alan tepat di telinga Disty dengan suara yang sengaja dibesarkan sehingga kami semua dengar.

"Najis, prestasi apaan. Yang ada lo tuh murahan banget jadi cowok."

Obrolan sengit Disty dan Alan tiba-tiba harus terhenti ketika Lukas-salah satu teman kantor kami-datang dan langsung menyela dua insan tersebut.

"Masih pagi kali, udah ribut aja."

"Kas, emang benar dia udah punya cewek?" tanya Disty sambil menahan Lukas untuk tidak meninggalkan mereka.

Lukas tertegun dan langsung mengamati Alan dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Tumben manjur peletnya. Ke dukun mana lo?"

"Anjir lo, Kas."

Oke, sekian drama pagi dari divisi akuntansi yang setiap harinya selalu tayang. Entah itu Disty-Alan, Lukas-Alan, atau bisa jadi Aku dan Alan.

***

"Sas, laporan yang lo email kemarin kayaknya ada yang salah." Tama-katanya sih yang paling keren di divisi ini-menghampiri Sashi yang berada di sebelahku.

"Hah? Masa sih, Tam?"

"Lo cek lagi, deh. Mumpung masih di tangan gue belum lari ke papi."

Jadi, papi yang dimaksud Tama adalah atasanku. Agak aneh sih awalnya waktu aku disuruh manggil si bos dengan sebutan papi. Tapi, kata teman-temanku panggilan itu memang sudah menjadi julukan yang melekat untuk si bos dari generasi terdahulu.

"Emang bisa ya, tiba-tiba laporannya lari? Kan itu benda mati, yang udah jelas-jelas kita tau dari SD kalau benda mati itu nggak bernyawa."

Itu dia, Sashi. Perempuan dengan segala sisi ajaib dalam hidupnya yang berhasil mewarnai divisi kami. Tanpa Sashi, aku yakin tidak akan ada kehidupan di divisi ini.

Kulirik, Tama meraup wajahnya kasar. Ya, jelas sih, kalau aku jadi Tama kayaknya bakalan lebih parah dari sekedar meraup wajah.

"Sashi, yang paling pintar di divisi ini. Tolong, segera dicek laporannya, ya."

08:20Where stories live. Discover now