5. Jaga Jarak Aman. Tapi, Gagal.

Start from the beginning
                                    

"Siapa yang bisa jamin dia nggak akan nyakitin gue, Dav? Itu kan opini lo tentang dia karena kalian teman akrab. Tapi, kalau sama yang lain belum tentu juga orang akan beropini sama seperti lo," balasku, "lagi pula Dav, gue sama dia nggak ada hubungan apa-apa. Percaya deh."

"Gue emang gak bisa jamin, Ta. Tapi, gue paham banget gimana Lukas. Soal hubungan, emang lo yakin nantinya kalian akan gini-gini aja setelah kejadian Good Day, nasi padang, Good Time, terus beli kado, atau bahkan ke rumah Sashi?"

Aku tercengang. Bagaimana Daviena bisa tau semuanya yang aku lakukan beberapa hari terakhir dengan Lukas?

"Lo tau dari mana?"

"Gue tau semuanya, Ta. Lukas cerita sama gue. Setiap hari dia cerita tanpa henti tentang lo. Dari dia sadar ada lo di sini sampai dia mulai tertarik sama lo."

Aku terdiam sambil mencerna perkataan Daviena barusan. Aku bahkan nggak menyangka kalau Lukas ternyata nggak sekadar membuatku baper. Dia benar-benar tertarik.

"Makanya itu, pas dia bilang mau ngedeketin lo, gue dukung sepenuhnya."

"Gue ... "

"Dan gue tau, lo lagi menghindar dari Lukas kan?"

Daviena tau segalanya. Daviena melihat segalanya. Apa yang aku tutupi akhirnya harus terbongkar.

"Gue ... iya, gue memang menghindar. Itu semua karena gue nggak mau kalau ujung-ujungnya gue akan baper padahal dianya nggak bermaksud gitu. Gue nggak mau ketika gue diatas terus dijatuhin gitu aja," ucapku jujur. Because, I never had relationship with someone.

"Tapi, Lukas nggak gitu. Percaya sama gue, Ta. You will find your happiness. He saves me, he cares to me, and he is the best guy I've ever known . But, I'm not the woman who he wants, Ta," balasnya dengan penekanan dikalimat terakhir.

Jadi, sebenarnya Daviena menaruh harapan lebih terhadap Lukas? Aku jadi bingung. Akankah aku terjebak pada cinta bersegi yang menjadi rumit? No, I don't want this situation.

"Dav, do you have feelings for him?"

Daviena mengangguk. "Dulu."

"But, don't close your heart and don't lie to yourself. Please, give him a chance," sambungnya.

"I don't know, but love can not be forced. Gue nggak tau apa yang akan terjadi setelah dengar semua perkataan lo barusan."

***

Lembur lagi lembur lagi. Sepertinya aku akan berkata seperti itu kalau minggu depan pun aku masih harus lembur.

Capek bro. Beneran deh.

Oh iya, ngomongin soal Lukas, acara menghindarku gatot. Iya, gagal total. Tau nggak? Pas aku sama Daviena makan di pantry, dia ikut join bersama kami. Mau nolak nggak mungkin wong konco dewe.

"Good Day, Ta. Biar gak bosen."

Baru diomongin langsung nongol tanpa diminta dan botol Good Day yang rasanya enak itu terpampang manis di depanku. Kulirik orang-orang di sekitar, kayaknya nggak ada yang sadar waktu dia ngasih. Soalnya pada fokus sama kerjaan sendiri-sendiri.

"Genks, minggu depan ada tanggal merah tuh hari jumat. Lumayan bisa dipake buat jalan, dari jumat sampai minggu," ceplos Alan sambil melihat kalender yang berada di dinding.

"Nanjak, yuk?" ajak Mas Bagas dan langsung disambut semangat menggebu-gebu dari Tama, yang katanya hobi banget lihat keindahan ciptaan Tuhan.

"Ayo Mas, yang deket aja."

"Gue nggak bisa, Mas. Pas hari minggunya ada acara di gereja," sanggah Lukas.

Agak mencelos sih, hatiku. Kami memang berbeda. Dia dengan kalung salib yang menggantung di lehernya, sedangkan aku dengan mukena dan sajadah yang selalu kubawa ketika salat. Dia yang setiap minggu ke gereja, sedangkan aku yang setiap dzuhur ke mushola kantor. Dia yang setia dengan Alkitab, sedangkan aku berpegang teguh dengan pedoman hidupku, yaitu Al-Qur'an.

Itu yang sedikit membuatku goyah, walaupun dulu ketika SMA ada temanku yang bilang 'jalanin aja dulu, orang gak sampai nikah ini' ketika salah satu teman sekelasku pacaran beda agama. Tapi, sekarang kondisinya sudah berubah. Terutama untukku yang sudah berusia dua puluh lima tahun, sudah bukan waktunya lagi untuk bermain-main dengan hubungan. Meskipun aku nggak pernah pacaran hehehe.

"Yah, nggak seru dong, Kas," komentar Mas Bagas.

"Abis gimana lagi, Mas."

"Lo ikut gak, Lan?"

Alan mengangguk saat ditanyai Mas Bagas. "Ikut, dong."

"Cewek-cewek?"

"Sorry, Mas. Cukup dulu aja kulit gue sampe gosong," tolak Disty.

"Sas? Dav? Ta?"

"Sashi ikut kalau Aretta ikut."

Aku langsung melirik jahat pada Sashi yang lagi nyengir kuda. "Siapa lo ikut-ikut gue?"

"Gue liat nanti aja, Mas. Belum pernah naik gunung sebenarnya," sambungku pada Mas Bagas.

"Gue mager, Mas. Mau nyalon." Oke, Daviena memang harus terlihat anggun.

"Ujung-ujungnya lo pada mah nggak ikut," ujar Mas Bagas yang terkesan nyinyir itu.

"Iya, makanya kita aja," ucap Alan.

Pembicaraan kubu laki-laki akhirnya berlanjut. Sedikit yang kudengar seperti, logistik, carrier, sepatu, sendal gunung, dan sampai seberapa banyak mereka membawa baju untuk ganti. Baiklah, aku nggak ngerti urusan itu. Jadi, kuputuskan pergi ke pantry untuk membuat teh hangat.

"Biasanya kopi, Ta?"

Aku terkejut saat suara Lukas tiba-tiba terdengar di telingaku. Kutengok dia yang sedang menuang gula dan teh ke cangkirnya.

"Gue nitip air panasnya, ya?"

Aku mengangguk. Lalu, dia berkata lagi. "Sabtu besok lo ada acara ga, Ta?"

"Enggak. Kenapa?"

"Gue mau ngajak lo jalan."

Aku mengangguk lagi. Nggak tau kenapa bawaanya mau ngangguk terus. "Ke mana?"

"Ke mana aja," jawabnya sambil tertawa.

"Nggak ada tujuan, dong?"

"Lo ikut gue aja, deh."

"Oke."

"Gue jemput di kost-an lo ya?"

"Iya."

Dia tersenyum. Aku pun begitu. Ya, semoga saja dengan aku yang mencoba mendengarkan semua perkataan Daviena dan mencoba untuk membuka hati, sesuatu yang baik akan terjadi. Semoga saja.

***

Berhubung besok lebaran, mohon maaf lahir dan batin ya.

08:20Where stories live. Discover now