"Tumben ngga main game," celetuk Kandit yang sedari tadi duduk dihadapanku.

Aku cuma bisa tersenyum sinis. Cukup yakin kalimat itu sindiran belaka karena Kandit pasti tau kalau aku belum dapet kabar apapun dari Ben. Tebakan dia memang selalu jitu.

"Eh, btw, itu lo pegang hp"

"Ya emang, terus?"

"Gila lo. Kok chat gue yang kemaren ngga dibales? Parah lo, Cha!" Protes Kandit. Ini sih pasti cuma bercanda.

"Yaaaah iya... ketimbun kayaknya. Sorry Dit"

"Beuh, gue kira lo udah berubah, taunya kebiasaan lo ngga ilang-ilang dari dulu, Cha! Untung aja ada Mas Gani yang back up lo ngurus chat-chat penting. Semua aman terkendali. Jadi, inget jaman dulu, lo bales chat gue dengan jeda seminggu. Dan itu ngga sekali ya, sering. Yaaaa... sekarang much better, lah, hahaha." Kandit mendadak nostalgia. Iya sih dulu memang aku jarang bales chat. Puncaknya pas tingkat awal kuliah. Bukan sengaja, tapi emang dulu aku males banget pegang hp. Aku dimana, hp dimana. Kita jarang ada di satu tempat yang sama, kecuali kalau lagi pergi ke luar rumah. Sekarang? Beda cerita. Apalagi sejak ada Ben.

"Udah ah gue laper mau ke Indomaret depan, lo mau nitip ngga?"

"Ngga, thank you"

"Oke," Kandit beranjak keluar BP. Tepat saat di ambang pintu, Kandit membalikan badan dan dengan cepat duduk kembali diposisi semula. "Eh, Cha, jangan-jangan...." Kandit ngeluarin hpnya dan ngetik sesuatu. Aku juga gatau dia ngetik apaan.

"TUH KAN!" Kandit setengah teriak, "bener kan dugaan gue!"

"Heh gila! Apaan sih Dit teriak-teriak gitu?"

"Wah parah sih Line personal gue di mute! Tega lo sama gue," Kandit mendadak drama. Yah ketauan. Aku cuma bisa nyengir dengan muka sok imut supaya bisa dimaafin. Walaupun, aku tau dia ngga beneran marah.

"Gue tau nih sebabnya, pasti si Ben! Denger ya Cha, gue selalu support lo untuk cari your significant other," ekspresi Kandit berubah seratus delapan puluh derajat. "Gue seneng kok akhirnya ada juga cowok yang bisa bikin lo belum bosen, se-engga-nya sampe detik ini. Gue kasih applause buat Ben. Tapi, gue ngga setuju kalo lo kayak gini cuma gara-gara orang yang bahkan ngga nyata."

Kalimatnya menarik perhatianku. Ngga nyata. Unreal. Kata itu juga yang selalu terngiang-ngiang di kepalaku sejak awal. Gimana kalau Ben sebetulnya memang ngga nyata? Persis seperti cerita viral yang baru aku baca semalam. Kisah antara Adora, Alina, dan Hilman. Tau kan kisah itu? Gimana kalau Ben itu sebenernya ngga ada? Sama persis kayak Hilman? Membayangkannya saja aku ngga sanggup.

Tinut-tinut.

Suara notifikasi tanda ada chat Line mengalihkan perhatianku yang sempat tenggelam dalam lamunan.

"Halo, Cha," ekspresi wajah sumringah terpampang nyata di wajahku tepat ketika melihat ada chat masuk dari cowok yang kutunggu-tunggu. Semua pikiran negatif tentang 'Ben yang ngga nyata' mendadak lenyap begitu saja.

"Pasti Ben," tebak Kandit. Aku cuma senyum. Kini perhatianku seratus persen beralih ke hp. Ngga lagi menggubris kehadiran Kandit.

Taaak.

"Aduh! Apaan sih, Dit?" protesku. Entah apa maksud Kandit, tapi sentilan jarinya di keningku lumayan juga rasanya.

Sepersekian detik kemudian Kandit menatapku dengan sorot mata yang aneh. "Sadar, Cha!"

"Sadar apa sih? Gue dari tadi compos mentis," ekspresi wajahku berubah jadi bingung.

"Ada yang aneh sama lo, Cha," Kandit menghela napas. "Siapapun itu, jangan pernah jatuh cinta sama orang yang belum pernah lo temuin."

Distorsi [HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang