[3] Asti Pradipta

172 9 0
                                    

7 tahun lalu...

Setelah 2 bulan di SMA...

"Kak, mau nggak jadi pacarku?", tembak Asti pada Rian.

Alis mata yang ditanya terangkat sebelah. Ia menutup bukunya. "Apa?", mungkin ia tak yakin dengan pendengarannya sendiri karena sejak tadi asyik membaca.

"Pacaran yuk...", ulang Asti dengan redaksi berbeda.

Lugas. Tegas. Di ruangan perpustakaan sekolah yang pengunjungnya hanya mereka berdua.

Rian memandangi Asti waspada, menganalisis permintaan ajaibnya sekaligus mengatur strategi menghadapi si gadis keras kepala itu.

"Aku lagi malas pacaran. Mau siap-siap ujian...", sahut Rian pura-pura acuh sambil membuka kembali bukunya. Ia mati-matian menahan senyuman.

Rian tahu betul perangai Asti karena sudah lama berteman dengan abangnya, Heidi.

"Kalau gitu kita pacarannya sebentar aja. Tiga bulan. Gimana?", cecar Asti masih dengan wajah sumringah.

Rian kembali tersenyum. Begini nih tabiat anak itu, nggak akan berhenti sebelum dapat. Dia bahkan nggak sadar barusan ditolak!

"Nggak ah!", jawabnya tegas. Ia pindah duduk menjauhi Asti.

"Satu bulan deh kalau gitu! Ya ya ya??", Asti kembali mengeluarkan tawaran sambil terus mendekatinya.

Rian geleng-geleng kepala menolak, eh...Asti dengan pedenya terus mengangguk-angguk sambil mengedipkan mata menggoda.

Rian yang sejak tadi memang menahan diri pun akhirnya tertawa juga. Dari dulu, dia selalu kewalahan menolak Asti kalau sudah ada maunya.

"Nanti setelah satu bulan terus kamu minta perpanjangan...", ujar Rian pura-pura melemah.

"Nggaaak. Janji deh. Janjiiii..."

"Huuuh...aku tuh nggak percaya sama kamu!", sahut Rian sambil mengacak-acak gemas rambut adik teman sekelasnya itu.

"Iiih, beneran deh. Cuma sebulan kok. Janji! Kalau Kak Rian bosan, kita putus. Tapi kalau nggak bosan-bosan juga yaa udah, diterusin aja, haha..."

"Ish...nanti aku dimarahin Heidi!", Rian berdiri dan mulai meninggalkan Asti. Bel berbunyi, tanda harus masuk kelas lagi.

"Nggak usah ngasih tahu Abang", sahut Asti sambil mengejar Rian. Dia melingkarkan tangannya di lengan Rian manja.

"Ya ya ya...", rayunya.

Rian memandanginya lama sambil pura-pura berpikir.

"Oke, tapi janji yaa...kamu yang mulai tapi aku yang memutuskan kapan berakhirnya", Rian memakan umpan.

"Siap, bos! Hehe...", Asti menghormat dan langsung kabur meninggalkan Rian.

🍀🍀🍀

Sebenarnya Asti sudah merencanakan acara bersama teman-teman asramanya untuk merayakan wisuda bersama keluarga mereka. Sayangnya, orang tua Asti mendadak tak bisa datang karena neneknya yang tiba-tiba harus dirawat di rumah sakit. Mungkin itulah sebabnya, mereka mengutus Rian mendampinginya.

"Kapan pulang dari Jepang?", tanya Asti memulai percakapan. Tunangannya itu juga baru menyelesaikan program masternya di Tokyo University.

"Dua bulan lalu", sahut Rian singkat. Tatapan matanya tak jua beralih dari wajah Asti. Kemudian tangannya mencoba meraih pipi Asti.

"Jangan...nggak enak dilihat orang!", Asti refleks menghindar.

Meski Hanin, Emma dan Lia seolah sibuk berbincang dengan keluarga, tapi Asti sadar bahwa mereka diam-diam mengamati mereka.

Asti menunduk. Menghindari tatapan Rian. Lelaki itu biasanya marah dengan sikap Asti yang seperti ini.

Tapi anehnya, Rian malah tersenyum. "Kalau gitu, ayo nikah!"

"Hah?", suara Asti tercekat di tenggorokan. Kepalanya mendongak. Menatap ke dalam mata elang itu.

Rian masih mempertahankan senyum yang sama. Tapi suaranya tegas, "Ayo segera menikah".

Ia kemudian memberi kode dengan memutar cincin di jarinya.

Asti menelan ludah. Wajahnya pias. Jika harus menuliskan 100 daftar hal menakutkan, maka lamaran Rian selalu menjadi yang pertama. Terutama jika ekspresinya sudah seperti itu.

Belum sempat Asti menjawab, dia sudah kembali bertanya, "Mana cincinmu?".

Asti menggigit bibir. Mimpi buruk sepertinya akan segera dimulai!

🍀🍀🍀

*diedit lagi dan lagi, sehingga akhirnya baru diupload... 😌

Atas Nama CintaWhere stories live. Discover now