"Lo yang harusnya mikir, Bang! Lo harusnya sadar kalo lo penyebab Ayah sakit! Lo selalu bikin Ayah kepikiran sampe depresi dan akhirnya Ayah separah sekarang!" balas Garrisco.

Marah, Saddaru dengan gerakan cepat meremas kerah baju Garrisco sampai cowok itu jinjit karena Saddaru lebih tinggi darinya.

"Lepas!" Garrisco meronta sambil mencoba membebaskan diri dari Saddaru.

"Dari awal gue dateng gue udah berusaha ngehindarin lo karna gue tau lo selalu mancing gue buat marah." Saddaru berkata dengan suara rendah dan tatapannya menghunus retina Garrisco. Ia lalu mengambil napas panjang sebelum melanjutkan. "Lo nyari mati? Mau gue bunuh sekarang? Mumpung kita di dapur. Pisau ada di belakang gue."

Glek. Garrisco tanpa sadar menelan salivanya dengan susah payah dan semakin berusaha melepaskan cengkaram kuat Saddari dari kaus yang ia kenakan.

"Gue cuma pengen lo sadar kalo apa yang lo lakuin itu salah, Bang!" ujar Garrisco dengan wajah yang memerah karena cengkraman Saddaru semakin menggila, membuat kerah baju Garrisco menyempit di leher.

"Hidup gue yang jalanin gue, bukan lo. Nggak usah ikut campur," desis Saddaru.

"Gue cuma mau lo—"

Belum sempat Garrisco menyelesaikan kalimatnya, Saddaru telah berhasil membuatnya bungkam dengan sentuhan maut di wajahnya. Garrisco meringis, menyentuh tulang pipinya yang mati rasa.

Dengan wajah marah, Saddaru menekan bara api rokoknya di permukaan meja makan sampai rokok itu mati. Ia kemudian berbalik badan dan mendekati meja yang berisikan berbagai alat dapur, mencari benda tajam yang tak sabar ingin ia gunakan untuk menyentuh kulit adiknya itu.

"Bang!" Garrisco memekik melihat Saddaru yang berhasil meraih benda tersebut.

Rasa panik semakin menyelimuti Garrisco saat Saddaru jalan menghampirinya. Sekarang, kakaknya itu terlihat seperti iblis.

"Bang, sadar!" Garrisco kepalang panik. Matanya juga berkaca-kaca, tidak menyangka Saddaru akan bersikap semenyeramkan itu padanya.

Entah setan apa yang merasuki Saddaru sampai ia kehilangan kendali seperti itu. Tak peduli dengan wajah super takutnya Garrisco, cowok itu terus mendekat dan makin mendekat.

Sekarang, Garrisco telah keluar dari dapur dan mencoba untuk kabur. Saddaru yang hendak mengejarnya mendadak langkahnya terhenti saat dirinya menabrak tubuh seseorang. Pisau yang biasa digunakan untuk memotong sayuran itu hampir saja menyentuh perut wanita yang ditabraknya tersebut.

"Ah!" ringis Irene spontan dan langsung menyentuh perutnya itu. Ia semakin kalap saat ia melihat apa yang ada di genggaman Saddaru.

"Ya Tuhan, Saddaru!" Mata Irene membulat, terkejut dengan apa yang ia lihat.

Saddaru terpaku di tempat. Matanya masih terus menguntit pergerakan Garrisco yang kini berjarak beberapa meter jauh darinya. Irene yang panik itu segera meraih pelan-pelan pisau itu dari tangan Saddaru.

"Lepas, Dar," pinta Irene, suaranya sedikit getir.

"Nggak." Saddaru lantas menggerakan tangannya ke belakang, menyembunyikan pisau itu di balik punggungnya.

"Kamu mau apain Isco?" Sekarang, mata Irene mulai berkaca-kaca. "Jangan main pisau. Bahaya, Sayang!"

"Diem." Tatapan tajam Saddaru kini berpindah ke Irene.

Irene hanya bisa menyentuh dadanya, juga melindungi perutnya yang lumayan besar itu. Saat Saddaru kembali bergerak untuk menghampiri Garrisco, Irene berusaha menahan anak itu, tapi sayang Irene tak mampu.

Oscillate #1: The Big Secret Where stories live. Discover now