12. That Bad Side [ Ana's POV]

Start from the beginning
                                    

Aku bangkit dari posisi jongkok dan membersihkan cutterku dengan menggunakan air dari wastafel. Aku berjalan keluar dari toilet dan meninggalkan Nicole. Aku tidak peduli dia masih menangis atau tidak.

***

Aku memakai hoodie, topi, dan juga masker. Rambutku kuikat, sehingga nantinya tidak akan ada kesan kalau aku seorang wanita. Sebuah cutter tumpul, pisau lipat yang juga tumpul dan sebuah pistol sudah aman di saku dalam hoodieku. Dan lembaran- lembaran penting sudah aman di ranselku.

Aku bersyukur Mama dan Papa belum ada di rumah. Calvin, Yohana, Yosafat dan Cathy lagi berkunjung ke rumah Oma. Aku tentu saja tidak diajak. Aku tidak terlalu tersinggung karena tidak diajak. Toh, aku kan tidak pernah menyukai Oma, Opa atau siapapun orang tua di muka bumi ini selain Gran dan Grandad. Oma, Opa, dan orang tua kebanyakan menganggapku sebagai cucu yang jelek dan tidak bisa diharapkan. Wajah Asiaku dianggap sebagai suatu aib bagi keluarga Mackenzie, keluarga besar Mama.

Aku dianggap sebagai cucu yang tidak bisa diharapkan karena aku tidak pandai bermain piano. Dari seluruh anggota keluarga Astonbelt dan keluarga Mackenzie, hanya akulah satu- satunya anggota keluarga yang tidak pandai dalam bermain piano. Oma, Opa, Gran, Grandad, Mama, Papa, Aunty, Uncle, Bibi, Paman, sepupu- sepupuku, saudara- saudara kandungku, keponakanku, mereka semua sangat pandai dalam bermain piano.

Akulah satu- satunya yang terbuang saat ini. Jika Gran dan Grandad masih hidup, aku tidak akan terbuang seperti ini.

Tidak memiliki teman, tidak diharapkan oleh sebagian besar anggota keluarga yang lainnya, dan tidak pernah diizinkan untuk bisa hidup bahagia bersama orang yang kucintai.

Nicole juga sama halnya denganku. Aku tahu itu. Aku juga menyesal karena terus menyakiti perasaannya. Tapi aku harus melakukannya. Sekalipun aku harus membuat Nicole terluka secara fisik, aku harus melakukannya.

Aku juga tahu kalau bukan Nicole yang mengadu kepada kedua orangtuaku. Tapi Nicole tetap melakukan kesalahan.

Aku mengendap- endap keluar dari halaman belakang rumah. Aku sengaja untuk tidak menggunakan Davis. Jika nanti aku tertangkap, maka polisi bisa mengenali pelat mobilku, kan?

Jadi aku memutuskan untuk pergi melakukan hal ini bersama seseorang yang sudah sejak lama aku cintai.

Setelah bersusah payah memanjat gerbang rumahku yang tingginya minta ampun, aku bergegas menuju persimpangan terdekat, tempat dimana Reza sudah menungguku.

Sebuah mobil Jeep dengan pelat lama sudah nangkring di pinggir persimpangan. Langit sudah sangat gelap karena telah tengah malam. Aku bergegas ke mobil itu.

" Lo emang udah siap buat melakukan hal ini, Na?" tanya Reza sementara pandangannya terus menuju ke arah jalanan. Aku melepas maskerku dengan tenang. Sudah sejak 5 tahun yang lalu, aku sudah mulai berusaha membiasakan diri untuk tidak menggunakan perasaan dalam bertindak.

" Udah sangat siap, Za. Kita bisa mulai dengan meneror teman sekelas gue," ucapku tenang dan dengan raut wajah yang dingin. Terima kasih buat teman- teman yang ada di sekelilingku. Karena merekalah aku belajar untuk melupakan bagaimana caranya mengasihani orang lain dan memiliki rasa kemanusiaan. Dan satu hal yang membuatku merasa yakin dengan pilihanku saat ini adalah, Reza berada di sampingku. Dia memahami diriku. Dan itu membuatku merasa cukup.

" Lo punya data- data teman sekelas lo?" tanya Reza yang mulai mengemudikan mobil. Aku membuka tas ranselku dan mengambil beberapa lembar dokumen.

" Gue udah ambil beberapa lembar data siswa yang ada di kelas gue," ucapku sambil memperlihatkan lembaran- lembaran data siswa itu. Reza menepikan mobil dan membaca lembaran- lembaran data siswa itu.

" Dinda juga pernah nyari masalah sama lo, kan?" tanya Reza dengan suara yang dingin dan tatapan tajam. Aku merasa sedikit terintimidasi, tapi aku tetap tenang. Aku menganggukkan kepala.

" Dia pernah bilang kalo gue genit- genitan ke lo. Cewek aneh," gumamku pelan.

" Kayaknya gara- gara kita pernah main musik berdua di ruang musik, orang lain malah membuat kesimpulan yang enggak- enggak," ucap Reza datar. Aku menoleh ke arahnya. Siapa saja memangnya yang mengetahui kalau aku dan Reza pernah berduet main alat musik di ruang musik sekolah? Apa karena itu juga kebencian siswa/I lain padaku semakin meningkat?

" Kenapa orang lain bisa sampai tau?" tanyaku pelan. Reza menghela nafas pelan.

" Karena ada yang ngeliat kita waktu itu secara diam- diam dan menyebarkan berita yang enggak- enggak. Satu- satunya yang berani berbuat serendah itu," aku menunggu Reza untuk melanjutkan ucapannya. Reza menoleh ke arahku sementara kedua tangannya memegang setir mobil dengan erat seolah- olah dia ingin meremukkan setir itu. " Hanya Dinda," nafasku tercekat saat mendengar nama Dinda.

Aku heran sekali dengan orang- orang. Aku selalu berusaha berbuat baik pada mereka dan menyembunyikan sifat dinginku yang memang menyebalkan. Aku berusaha ceria, alay dan seperti remaja perempuan kebanyakan karena aku tidak ingin menunjukkan kesinisanku pada orang lain. Aku tidak pernah menghina fisik seseorang dan menganggap semua orang memiliki nilai estetika yang khas.

Senyuman miris terukir di wajahku. Aku selalu berusaha untuk menghargai orang lain, tapi harga diriku selalu diinjak- injak. Selalu dibully dari belakang, dimanfaatkan sebagai robot penghasil kunci jawaban bagi teman- temanku, dan tidak dikaruniai bakat piano sehingga aku dianggap aib bagi keluarga besarku.

Jika memang hidup membuat permainan semacam ini, maka aku akan membalasnya pula. Jika orang- orang disekitarku tidak bisa menghargaiku sedikitpun, maka aku akan membuat mereka sendiri yang mengakuiku, meskipun aku harus menyiksa mereka.

" Kita mulai dari Dinda,"

PromisesWhere stories live. Discover now