36 . Ternyata Tak Ada Celah

1.1K 88 3
                                    

Tidak ada yang berubah di penghujung akhir Oktober. Semuanya tetap sama. Aku kembali menjalani hari-hariku seperti biasa. Berangkat sekolah, mengerjakan tugas, membeli buku-buku baru, dan keliling mal bersama dua orang konyol, Jeremi, Sukma. Hanya saja, ada yang berubah. Damar, dia semakin gencar melempar senyum walaupun aku tak menggubrisnya saat kami berdua berpapasan. Tekadku sudah bulat. Aku tidak ingin bersinggungan lagi dengannya. Memang dia tak pernah sesering dulu mengirim chat, tapi bukan berarti dia berhenti begitu saja, kan?

"Kira-kira kenapa Letta jual tubuhnya ke Damar, ya?" Aku mengempaskan tubuh di atas ranjang Mahesa. Dia sedang bercermin. Bau parfum 212 Men mengudara menjadi partikel kecil, tercium pekat sampai membuatku menutup hidung karena kentalnya aroma itu. "Baunya mirip dukun," celetukku.

Mahesa terkekeh. Apakah dia tidak berniat mengganti pakaiannya lebih berwarna? Kalau hitam mulu kan jadinya mistis banget. "Kamu tahu sendirilah gimana kerasnya Surabaya. Bahkan kota ini dinobatkan sebagai Jakarta kedua. Sugar daddy banyak, berceceran di mana-mana. Dan menjual tubuh ke Damar kamu pikir Letta enggak merencanakan sesuatu? Seperti kata Mama. Om Dalton adalah kapten maskapai Garuda. Damar sebentar lagi mengikuti jejak ayahnya, cewek mana yang enggak tergiur dengan gaji pilot yang sekali terbang dapat sangu sepuluh sampai empat puluh juta? Plus Damar itu ganteng, cocok dijadiin bibit yang bagus." Penjelasan Mahesa terdengar mengerikan.

Aku tahu Om Dalton karena hubungan antara Mama dan Tante Deli tidak sejauh aku dan Damar. Mereka saling mengobrol via WhatsApp tapi Mama tak pernah menyinggung soal bipolar yang kini menimpaku. Mama hanya tidak mau hubungannya dengan Tante Deli merenggang karena permasalahan antara aku dan Damar. Begitupun Tante Deli, dia masih mengira bahwa aku dan Damar masih berpacaran. Perempuan asli Kalimantan Selatan itu sangat menghargai kebaikan Mama, bahkan Tante Deli tak sungkan menceritakan seluruh pengalamannya. Mulai dari awal mula Om Dalton bertemu Tante Deli di King Collage of London, sampai Damar memutuskan pindah saat masih kelas dua sekolah dasar.

Begitu banyak hal yang Mama ceritakan saat kami berkumpul di ruang keluarga. Tante Deli bercerita banyak hal termasuk perjalanan hidupnya yang tidak pernah makan soto banjar karena dia terlalu menyukai luar negeri sampai berambisi punya suami bule. Tante Deli sangat mencintai London—membuatnya mati-matian meraih beasiswa dari jenjang sarjana sampai spesialis. Kurasa keunikan Damar berasal dari pemikiran receh mamanya. Mana ada orang yang tidak mencintai tanah kelahirannya? Tante Deli punya segudang pemikiran yang bisa mengejutkan siapa saja. Contohnya, saat Mama lembur di polrestabes, Tante Deli tidak segan-segan mengirim hasil masakannya untuk dicicipi rekan-rekan Bhayangkari Mama.

Sudahlah, aku tidak mau memikirkan Tante Deli lagi. Takut tiba-tiba flashback pada kenangan yang pernah Damar berikan. "Bisa saja. Aku jadi mau tahu ke mana orang tuanya Letta. Seburuk-buruknya seorang anak pasti orang tuanya mengakui Letta sebagai anak, iya kan? Walaupun aku nakal, tapi Mama dan Om Anjas tetap menganggapku anak, tuh." Aku menyipitkan mata. "Aku curiga, jangan-jangan Letta-nya yang bandel? Dia udah dikasih fasilitas sama orang tuanya, tapi dia memilih hidupnya sendiri?"

Mahesa mematut rambut di depan cermin. "Bisa jadi. Selama aku kenal Letta aku cuma tahu dia broken home. Papanya cerai, dan katanya Mama tirinya enggak mengakui dia sebagai anak. Bisa jadi itu buat pembelaan dirinya sendiri, jadi pihak paling tersakiti, tapi kenyataannya dia yang menyakiti orang tuanya." Aku juga tahu dari Damar. Pemikiran Mahesa sama seperti apa yang aku ucapkan saat bertemu Damar dua minggu yang lalu.

Aku bangun, dan meneliti muka Mahesa lewat pantulan cermin lemari. "Dia playing victim. Dia menggunakan alasan itu untuk memanipulasi pikiran Damar."

Mahesa menjentikkan jarinya. Dia berbalik, dan tersenyum lebar. "Bener! Kita enggak tahu permasalahan yang sebenarnya terjadi. Tapi apakah mungkin Damar yang punya otak secerdas itu bisa dimanipulasi sama Letta? Aku rasa enggak, kalau bener Letta sedang memanipulasi Damar agar Damar mengasihani dia, pasti Damar enggak tinggal diam. Damar itu cerdas, kok. Lihat aja."

***

"Redaksi jurnalis tim SMA Antartika katanya mau studi banding ke UGM, ya?" Aku bertanya tentang jadwal yang akan dilaksanakan sebelum ujian akhir semester satu. Pertanyaanku mengarah pada proker milik osis. Rencananya, ada dua perwakilan osis yang ditugaskan untuk menjadi perwakilan mengikuti studi banding. Aku kembali memakan telur gulung, jajanan penuh minyak ini layak dikonsumsi saat semua kantin kehabisan stok makanan ringan.

"Iya. Jeremi belum nunjuk siapa perwakilan osis yang ikut terbang ke UGM?" tanyanya. Kami berjalan, menjauh dari penjual telur gulung yang selalu nongkrong di depan pagar. "Waktu itu Pak Akbar sempet ngasih saran kalau kamu sama Jeremi aja, tapi aku belum rapatin lagi sama anak-anak jurnalis. Soalnya kayak enggak etis aja, osis juga punya proker bareng jurnalis, kan? Tapi harus tim jurnalis yang milih anggota osis. Lebih baik, biar Jeremi aja yang milih. Dia lebih tahu kelebihan anggotanya daripada aku." Sukma mengedikkan bahu. Kami berjalan gontai melewati koridor kepala sekolah dan ruang BK.

Aku berhenti sebentar saat mataku menangkap beberapa tim anggar berjalan mendahului kami. Oh, sekarang hari Selasa mereka memang latihan pada hari ini. Itu artinya Damar juga akan pulang telat. "Damar latihan hari ini," ucapku pada Sukma yang kini masih sibuk memakan telur gulungnya. Dia tidak memberiku respons apa-apa, karena menurutnya aku tipe cewek yang susah move on. Memang itu kenyataannya. Aku mencoba mati-matian untuk melupakan Damar, tapi dia mati-matian juga bikin aku enggak bisa move on. Dan terlibat dalam kegiatan sekolah adalah wujud pelampiasan.

"Balikan aja, sih," ucapnya enteng. "Namanya perasaan enggak bisa dibiarin. Semakin kamu menolak dia, berarti semakin banyak peluang Letta buat jadiin Kak Damar satu-satunya. Selama Kak Damar masih kekeh mau balikan sama kamu, kenapa enggak?" Aku tahu semua orang mendukungku. Tapi untuk mengucapkan kata balik itu tidak semudah bilang, "yuk balikan." Aku hanya masih memikirkan semua kemungkinan kalau aku kembali padanya.

"Aku cuma enggak mau kepikiran terus, sih. Punya pacar gan—" aku menghentikan ucapan saat Damar melintas di sampingku. Dia sudah siap dengan seluruh perlengkapan anggarnya. Mulai dari pelindung kepala sampai senjata anggar. Dia terlihat seperti astronot tapi versi seksi. Iyalah seksi, orang baju anggar yang dia pakai itu memamerkan bokongnya, kok.

Damar berhenti tepat di penghujung koridor utama. Dia kembali, berjalan ke arah kami yang kini melongo mengamati laju panjang kakinya. "Punya pacar apa?" tanyanya setelah sampai di hadapanku. Sukma memberi kode—menyodok sikuku dengan sikunya.

Aku mengerutkan kening. Ayolah, Al. Harus berani. Masa iya buat lihat dia saja enggak punya nyali? Bukan anaknya Papa Adit banget. "Itu, Sukma ..." Sialan! Kenapa juga aku harus gagap? Mirip kayak Ajiz gagap, serius! "Anu ... Pacarnya Sukma kan anak ekskul anggar juga, Dam."

"Oh, ya?" Damar menaikkan satu alisnya. Iris mata cokelat terang itu meneliti kebohonganku. Mampus! Damar selalu tahu bila aku berbohong. "Namanya siapa?" Iya, dia tahu aku berbohong, Damar tertawa skeptis di sana, dia menciduk aroma kebohongan dari gestur tubuhku.

Aku menatap Damar takut-takut. "Alka, kalau mau balikan enggak usah sungkan." Dia mengelus puncak kepalaku. Di hadapan Sukma yang kini tengah membatu. "Malam Minggu kita ketemu, aku ke rumahmu saja, sembari meluruskan masalah."

BIANTARA [Terbit]Where stories live. Discover now