13 . Pelukan Mama

1.3K 120 2
                                    

Awalnya aku takut Mama tidak mengizinkanku pergi ke Psikolog. Tapi responsnya cukup mengejutkan. Sekitar satu bulan setelah kematian Papa, aku sempat mengajukan keinginan untuk konsultasi pada Psikolog keluarga, memang Mama mengiakannya, tapi dia terus menerus lupa mengatur pertemuan dengan Psikolog itu. Syukurnya, sekarang aku mendapat izin dari Mama, tanpa harus berdebat panjang lebar.

"Kamu sama Mahesa?" Aku baru saja hendak keluar dari dalam kamar Mama, tapi dia menghadangku dengan pertanyaan yang tidak terpikirkan olehku.

"Sayangnya enggak," jawabku.

"Kenapa?"

Aku kembali duduk di sampingnya. Aku dan Mama sedikit lebih akrab karena insiden tadi pagi. Kuharap, kedekatan antara aku dan Mama tetap seperti ini. Sebenarnya aku enggan menceritakan permasalahan yang terjadi antara aku dan Mahesa. Tapi, sepertinya Mama harus tahu, dan untuk kali ini aku mencoba untuk lebih terbuka padanya. Bagaimana pun juga aku tetap putrinya, kan?

"Mama tahu dari lama aku enggak sejalan sama pernikahan Mama sama Om Anjas, kan?"

Mama memperhatikanku. Sebenarnya sudah sejak lama Mama mengerti ketidaknyamananku atas pernikahan yang terjadi antara Mama dan Om Anjas. Namun, dia terlalu mementingkan egonya sendiri. Mama mengorbankan aku yang saat itu berjuang melawan trauma, aku tahu bahwa Mama pun tidak sepenuhnya mencintai Om Anjas, itu semua dia lakukan karena memenuhi permintaan Papa yang sempat dititipkan kepada sahabatnya itu.

"Semalam aku bertengkar sama Mahesa waktu Mama belum sampai rumah," kataku.

"Karena apa?" tanya Mama dengan mimik datar.

"Selama ini aku berusaha buat ngelupain Mahesa dan Papa, Mah. Tapi Mama kayaknya enggak sadar kalau aku menderita. Kehilangan Mahesa sama saja aku kehilangan Papa, udah enggak ada yang support system selain mereka. Waktu aku pengin cerita sama Mama seperti sekarang ini, Mama terlalu sibuk ngurusin Om Anjas sampai enggak ada waktu buat aku. Di hari weekend pun kayak gini, Mama juga ada kegiatan di luar sama Om Anjas, kan?"

Mama masih diam. Ayo Mah, ngomong. Aku ingin Mama membalas ucapanku. "Ayo, Mah, bales ucapan aku."

Tanpa sadar, Mama meneteskan air mata. Dia menunduk, lantas memegang tanganku kuat. "Maafin Mama."

Aku menarik napas panjang. Wajar kalau sekarang aku ingin menangis, kan? Aku sudah lama tidak merasakan genggaman tangan Mama. Aku ingin memanfaatkan waktu semaksimal mungkin, aku ingin bercerita tentang Mahesa, Damar, Jeremi, dan Sukma. Mama harus tahu tentang mereka, agar pemikirannya tidak menyalahartikan pergaulan yang aku pilih. Aku tahu Mama pasti memahamiku. Karena semenjak menikah dengan Om Anjas, pria itu mendoktrin pemikiran Mama untuk membatasi pergaulanku.

"Sebenarnya aku masih butuh Mama untuk memahami aku, karena kalau bukan Mama siapa lagi? Enggak mungkin aku bergantung sama Mahesa dan Om Anjas, Ma. Bagaimanapun juga aku masih belum bisa nerima Om Anjas kalau dia masih membatasi aku. Mama boleh jadi istrinya, tapi jangan karena Mama fokus dengan status baru Mama, jadinya aku dilupain gitu aja. Aku enggak mau."

"Sebenarnya Mama juga enggak mau ngekang Alka kayak Papa kamu. Tapi terkadang Mama itu takut kalau kamu salah pergaulan."

Telingaku agak kelu saat Mama tanpa sadar menyuruhku untuk memanggil Om Anjas dengan sebutan 'Papa'. Aku belum siap menggantikan kedudukan Papa Adit dengan orang baru yang jauh memiliki kepribadian berbeda.

Aku berusaha tegar dan menghapus air mataku. "Mah, aku itu udah besar. Aku punya temen baik di sekolah, bahkan cowok yang ngirimin aku makanan tadi pagi itu baik banget, dan Mama harus kenal mereka."

Mama mengangguk, sama halnya denganku, dia menyapu air mata dengan punggung tangannya. "Kapan kamu mau kenalin mereka ke Mama?"

Senyumku mengembang sempurna, seolah atmosfer kebahagiaan mencair seiring berjalannya waktu. Aku benar-benar rindu curhat dengan perempuan paruh baya ini. "Nanti sore mereka mau ke sini kalau Mama izinin Alka pergi ke Psikolog sama mereka."

"Iya. Mama izinin. Tapi kenapa kamu enggak pergi aja sama Mahesa? Dia kan udah agak mendingan."

Aku mengedikkan bahu. "Aku sama Mahesa semalam bertengkar. Mama tanyain aja deh si Mahesa."

"Mama mau dengar langsung dari mulut kamu."

"Rumit, Mah."

"Kamu kalau marahin Mama aja jago, giliran disuruh cerita masalah kamu sama Mahesa kayak gini."

Aku terkekeh. "Intinya aku kecewa aja sama dia, Mah. Aku enggak pengen kok direbutin kayak cewek yang dia rebutin sama Kak Damar. Tapi ucapan Mahesa seakan-akan enggak mentingin aku lagi, padahal sekarang status aku sama Mahesa itu kakak-adik," ucapku. Aku beranjak, berniat berlalu.

"Terus cowok yang tadi pagi kirim makanan ke sini siapanya kamu?" Aku tahu ibu mana saja pasti penasaran saat anak gadisnya mendapat perlakuan istimewa dari seorang laki-laki seperti apa yang Damar lakukan tadi pagi.

Pertanyaan Mama membuatku berdiri di antara bibir pintu. "Namanya Damar."

"Damar yang rebutan satu cewek dengan Mahesa? Tunggu ... Mama enggak paham." Kini Mama terdengar seperti almarhum Papa. Sungguh, untuk urusan seperti ini Mama dan Papa sedikit lemot.

"Karena Mahesa dan Kak Damar itu satu organisasi karate, jadinya mereka tergabung dalam satu INKAI Jatim, gitu, Mah. Jadinya mereka saling kenal, kayaknya sih cewek yang mereka rebutin ini satu organisasi tapi beda dojo."

"Terus kamu udah tahu Damar ngerebutin cewek yang sama dengan Mahesa, kamu tetep mau kenalin Mama ke dia?"

"Itu dia, Ma. Aku enggak tahu pasti, aku harus tanyain langsung ke Kak Damar. Karena aku mikir, kalau aku ngejauhin Kak Damar gitu aja, yang ada aku terkesan jahat. Lagi pula, aku tanya ke Kak Damar demi kebaikan aku juga. Aku ini cewek, Ma. Dan aku enggak mau dibodohin cowok."

"Mama tahu itu," ucapnya. Mama beranjak, berniat untuk menghampiriku di antara bibir pintu kamarnya.

"Jadi kenapa Mama ikut-ikutan ngekang aku?"

"Karena Mama khawatir. Tapi sepertinya, sekarang Mama enggak perlu khawatir lagi. Kamu udah dewasa, entar lagi kelas dua belas, empat tahun lagi udah lulus kuliah, Mama enggak bisa terus-terussan ngatur hidup kamu." Mama menangkap dua bahuku.

Bagai anak anjing yang menatap induknya, aku mengerling memandang Mama. "Mama percaya sama aku?"

"Iya."

"Mama mau belain aku di hadapan Om Anjas kalau seandainya dia ngekang aku lagi?"

"Iya Alka."

Dalam sekali hentakan kaki, aku memeluk Mama erat-erat. Tuhan, rasanya aku rindu sekali pelukan ini, aku rindu Mama mendekapku, dan aku rindu Mama mencium puncak kepalaku seperti sekarang.

"Nanti kalau udah jadian sama Kak Damar kamu itu, bilang ke Papa Anjas, ya. Dan jangan lupain Mahesa, dengan siapapun kamu, Mama selalu dukung. Karena kamu juga punya kebahagiaan yang lain selain Mama."

Ini yang aku rindukan dari Mama. Dia tidak pernah melarangku menjalin hubungan dengan siapapun, asal aku tahu diri dan memegang teguh kepercayaannya. Aku rasa, aku hanya perlu membuktikan sisi dewasa yang selama ini terbentuk dalam diriku. Aku bisa menunjukkan bahwa aku adalah seorang Alka, anak tunggal Papa Adit yang punya pemikiran sama dengannya, dan juga sifat keras kepala yang diturunkan langsung dari Mama.

BIANTARA [Terbit]Where stories live. Discover now