15 . Titik Nol

1.4K 134 8
                                    

Semalam aku pulang tepat pukul 9 malam. Mama, Om Anjas, dan Mahesa menungguku di teras rumah dengan makanan ringan dan musik keroncong yang disetel melalui salon kecil, benda itu dihubungkan langsung dengan bluetooth ponsel milik Om Anjas. Awalnya aku mengira mereka ngamuk seperti biasa saat mendapati aku pulang malam, tapi sepertinya mereka mulai berubah setelah aku mengutarakan keresahanku pada Mama kemarin sore, mungkin Mama juga menyampaikan apa yang aku utarakan pada Mahesa dan Om Anjas.

Awalnya Jeremi dan Damar bersikeras ingin mampir ke salah satu destinasi malam Surabaya, yaitu Titik Nol. Titik nol kilometer merupakan titik awal pengukuran antara kota satu dengan lainnya, aku tidak tahu pasti gambaran jelas dari tugu yang berada di halaman kantor gubernur itu, karena sebelum berangkat ke sana, aku sempat mencari gambar tugu titik nol dalam internet, kurasa bagus untuk sekadar bersendau gurau dan menikmati suasana malam di sana.

Namun, aku terpaksa mengubur keinginan itu dalam-dalam, karena tubuhku sudah terlampau lemas sesaat setelah keluar dari ruang terapi dan Damar memutuskan untuk membawaku pulang. Percaya atau tidak, aroma terapi yang diberikan Pak Bram berhasil membuatku tidur pulas sampai pagi. Aku akui, ruangan Pak Bram seperti morfin yang membuatku tenang setelah keluar dari sana, saat Damar menangkap air mukaku yang lesu, tanpa pikir panjang, dia membatalkan rencana untuk night ride dan mengunjungi Titik Nol, karena menurutnya aku harus tidur agar tenagaku kembali pulih.

Pukul 16.08 aku masih mendekam di kamar, tanpa mau beranjak keluar. Akan lebih damai bila aku termenung di atas karpet berbulu dengan earphone yang terpasang di kedua telinga. Mengamati matahari yang menyorot langsung kamarku. Tapi sepertinya aku punya keinginan kuat untuk pergi ke balkon. Ada yang menarikku untuk mengamati keadaan lantai bawah. Sedetik kemudian setelah kakiku sampai di balkon, mataku tertuju pada seseorang yang berbicara dengan Om Anjas di halaman rumah. Damar kemari membawa beberapa bungkusan yang dia serahkan pada laki-laki tua di hadapannya. Aku juga melihat Om Anjas mendongak, dan menunjukku dari bawah sana, diikuti Damar yang tersenyum lebar saat mendapati aku berdiri dari atas sini.

Om Anjas melambaikan tangan, menyuruhku untuk turun. Aku berlalu, berniat untuk menghampiri mereka walaupun ragu. Aku ragu bukan karena kedatangan Damar kemari, tapi ragu karena diriku sendiri. Aku tidak mau bertemu Damar karena kondisi mentalku yang mungkin bisa saja terguncang sewaktu-waktu. Apalagi aku tahu, bahwa ada gadis lain yang Damar inginkan.

"Sesuai janji, aku mau ajak kamu ke Titik Nol Surabaya," kata Damar setiba aku di hadapannya

"Damar udah minta izin ke Papa, kamu pergi saja. Ganti baju yang lebih sopan." Aku berusaha menyunggingkan senyum saat Om Anjas menyebut dirinya 'Papa'. Walaupun aku berusaha menerima kedudukannya, tapi hal ini bukan suatu perkara yang mudah. Aku sedang mencoba, dan entah kapan aku bisa sepenuhnya memanggil dia Papa tanpa harus mengkerdilkan diri.

"Aku ke atas dulu." Aku berlalu dengan makanan yang Om Anjas berikan untukku.

Aku ingin mengganti pakaian agar lebih tertutup sesuai perintah Om Anjas. Pakaianku terlalu terbuka, dan aku rasa Damar cukup memperhatikan lekuk tubuhku ketika aku turun ke bawah. Sebelum benar-benar naik ke lantai dua, aku mampir ke dapur untuk meletakkan makanan pemberian Damar. Aku tidak tahu kenapa Damar repot-repot membawa makanan sebanyak ini. Om Anjas pun menerima baik kedatangan Damar, hati orang tua mana yang tidak luluh disogok makanan sebanyak ini dengan senyum tulus dan sikap sopan santun anak laki-laki yang menjemput anak gadisnya ke rumah? Tak ingin berpikir panjang, aku naik ke lantai dua dan memilih baju yang pas.

Aku adalah seorang virgo. Rasi bintang itu cukup mempengaruhi gaya penampilanku. Aku harus tampil perfeksionis. Sembari memilih baju dari dalam lemari, aku juga melirik rak sepatu yang tersusun rapi di dekat balkon. Kembali lagi, karakter virgo selalu tampil feminim. Pilihanku jatuh pada blus hitam dan celana jeans, proporsi yang pas bila dipadukan dengan flat shoes krem tua. Tampak gelap tanpa menghilangkan kesan feminim. Oh iya ... tidak lupa polesan tipis di permukaan wajahku agar membantu menyamarkan bekas jerawat.

BIANTARA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang