22 . Bermain Petak Umpet

1.5K 104 3
                                    

Aku baru sadar, ternyata bulan seindah ini bila dilihat dari balkon. Satelit bumi ini sudah lama aku abaikan, dan baru kali ini aku menatap takjub cahayanya. Ke mana aku selama ini? Kenapa pula aku seperti gadis yang tidak punya tujuan hidup? Padahal, meneliti tata surya lewat teleskop milik Mahesa lebih membahagiakan daripada mengurung diri dalam kamar seperti hari-hari lalu.

"Cantik banget," gumamku. Menggeser teropong pada arah lain. Bahkan di atas sana ada banyak benda asing berkelip. "Apa mungkin aku bisa lihat Neptunus?" Pertanyaanku seperti anak kecil udik yang baru kenal teleskop. Mahesa tertawa mendengar kepolosanku.

"Mungkin. Ada jutaan bintang di sana, mungkin itu salah satunya," ujarnya. Aku menoleh. Dia masih sibuk dengan buku latihan olimpiade Kimia, banyak kertas bertuliskan rumus tersebar tak beraturan di atas ubin kamarnya. Aku memaklumi, cara belajar Mahesa selalu berantakan dan aneh.

Aku kembali menutup mata sebelah kanan, membiarkan mata kiriku terbuka, kembali mengamati apa yang ditangkap teleskop. Sungguh, ke mana aku selama ini? Kenapa juga aku tidak pernah bertandang ke kamar Mahesa? Bahkan aku lebih sering membiarkan diriku tersiksa dengan semua pemikiran berat yang tidak menghasilkan apa-apa. Aku akan mengubah pola hidupku, mungkin mengganggu Mahesa ketika belajar adalah kewajiban yang harus aku laksanakan bila aku bosan dengan overthingking.

"Kamu cantik begitu mau ke mana?" tanya Mahesa. Aku rasa dia mulai letih. Dia berjalan ke arahku, dan berdiri di sisi kanan. "Udah selesai belajar?"

"Udah, dari pulang sekolah sampai jam lima sore. Mau keluar sama Damar aja, sih." Aku duduk di tepian ranjang. Mahesa selalu suka dengan seprai putih dan hitam. Kamarnya juga identik dengan polkadot. Iya, dia suka hitam dan putih, warna yang melambangkan yin dan yang, dia cukup misterius tapi percaya diri. Semudah itu aku mendefinisikannya, misterius namun membuat semua orang penasaran. Tipikal cowok mempesona dalam segala kebisuaannya. Bahkan jika membuka lemarinya, dia hanya punya baju hitam dan putih, selebihnya hanya batik sekolah dan seragam putih abu-abu.

Tatapannya berubah skeptis. Daya tarik tersendiri melihat Mahesa menampakkan ekspresi satu ini, dalam balutan kaus putih ketat, dan celana panjang jogger hitam, dia seperti cowok playboy yang siap menerkam perempuan mana saja. Pelan, dia duduk di samping kananku, menghadap balkon, dan membelakangi pintu kamar yang terbuka lebar. "Aku jadi curiga kamu udah pacaran sama Damar," ucapnya santai.

Aku mengangguk, membenarkan. Mahesa tidak terkejut, seolah dia sudah tahu dan tak berniat untuk bertanya lagi. Berarti, aku tidak perlu repot menyiapkan perlawanan jika Mahesa menuai perdebatan.

"Gimana Letta?" tanyaku, kini berbaring di atas ranjangnya. Sepertinya aku mulai melupakan kebiasaanku yang satu ini. Dulu, sebelum pindah kemari, aku selalu blusukan dan tidur di atas sofa kamar Mahesa. Dia tidak melayangkan aksi protes, asal aku nyaman dan tidak mencak-mencak di kamarnya. Jayapura begitu indah, tempat itu mengukir segalanya.

Alih-alih menjawab, Mahesa ikut berbaring di sampingku, sama halnya denganku, dia terlentang. Kami berdua menatap langit-langit kamar yang dihiasi gypsum berbentuk persegi panjang dengan corak bunga di setiap sisinya. "Aku mau fokus belajar buat masuk FK daripada pertahanin cewek kardus kayak dia," ucapnya. Oh, jadi ini sebabnya dia berhenti menyalahkan Damar? Baguslah jika dia sudah tahu kelakuan Letta yang dianggap piala bergilir oleh komplotan Black SOS. Setidaknya Mahesa masih punya harga diri.

"Seharusnya aku dengerin Damar waktu itu." Dia menoleh, jarak antara wajah kami sangat sempit. Aku bisa merasakan embusan napasnya menabrak pori-pori kulitku.

"Damar ngomong apa?" tanyaku penasaran. Percayalah baru kali ini aku datang ke kamarnya setelah perdebatan panjang di dalam kepalaku. Sekalinya datang kemari, kami berdua menciptakan suasana intim, sama seperti apa yang sering kami lakukan saat tinggal di Jayapura. Berdua sepanjang hari, dan kembali ke rumah masing-masing ketika Papa menyuruhku pulang.

Tak ingin terlena dengan tatapannya, aku segera bangun dan duduk. Ada desir aneh di dalam dadaku yang merambah sampai ubun-ubun, aku tidak mau mengulang satu kesalahan terindah yang pernah terjadi. Aku mempertahankan kedudukanku sebagai milik Damar, dan Mahesa adalah masa lalu yang menjelma menjadi satu kesatuan hidupku sekarang. Dia adalah mantan pacar sekaligus kakak yang tak boleh terjun lagi ke dalam drama terindah. Aku tidak mau khilaf, dan memilih untuk duduk sedikit jauh.

Mahesa mengembuskan napas kasar. Dia kembali menatap langit-langit. "Letta," ucapannya terhenti. Dia memikirkan sesuatu. Aku rasa dia sedang menyiapkan kata-kata yang pas untuk mendeskripsikan gadis itu tanpa terkesan mengolok-olokkan. Mahesa sangat menghargai perempuan, walaupun lawan yang dia hargai tidak menghargainya kembali.

"Dia itu cantik, manja, dan juga agresif. Semua cowok dibuat tunduk sama dia. Dia juga enggak tanggung-tanggung ngasih apa pun yang cowok inginkan. Tapi, dia juga enggak peduli kalau seandainya dia melukai cowok itu, karena baginya apa yang dia miliki hanya untuk uang. Dia punya barang mewah, dia punya iPhone keluaran terbaru, dan dia punya kulit eksotis yang membuat semua cowok tergila-gila sama dia."

Aku tahu itu. Pertemuan pertama di Sweet Bobba aku sudah melihat bentuk fisiknya yang mirip seperti gitar spanyol, sangat indah untuk seukuran remaja SMA.

Kening Mahesa berkerut. "Aku ngerasa, aku cuma dijadikan temen kencan aja, enggak lebih. Setiap kali ditanya sama temen tongkrongan, aku seperti main petak umpet, bingung harus jawab apa, dan akhirnya bersemunyi di balik kata temen." Mahesa mengutip kata 'teman' dengan jari telunjuk dan jari tengah. Dia terlihat frustasi karena hubungan ini. Aku meringis, ternyata Mahesa sudah kena batunya. Namun, bukan berarti aku senang atas apa yang sedang menimpanya. Aku yakin, Letta tidak hanya mempermainkan perasaan Mahesa, benar kata beberapa anggota Black SOS, perempuan itu bisa mendapatkan keinginannya dengan cara mengandalkan rupa dan apa pun yang dia punya di tubuhnya.

"Aku rasa pergaulan Surabaya memang separah itu," kataku. Aku beruntung diamanahi kepercayaan Om Anjas dan Mama, kalau tidak, entahlah ... aku tidak ingin menyalahkan Letta, karena aku juga belum tahu bagaimana masa lalunya. Karena aku yakin, hanya perempuan berani yang memilih jalan hidup seperti itu apalagi untuk remaja seperti kami.

"Tapi sudah banyak korbannya, dia bisa bikin semua cowok jatuh cinta sama dia, setelah itu apa? Ditinggalin gitu aja. Dan aku salah satunya."

Aku terkekeh. "Aku rasa cara Damar ninggalin Letta memang bener."

"Karena dia udah ngelihat kamu sebagai perempuan yang punya value, aura kamu itu terang, walaupun sering marah gak jelas."

Aku mengernyit. "Iyakah?"

"Kalau kita enggak ditakdirin jadi adik kakak, aku juga enggak akan ngelepasin kamu." Mahesa mengedikkan bahu. "Kesukaan cowok itu enggak rumit, cowok pasti suka sama cewek pendiam tapi punya pemikiran kritis, sekalinya marah agresif, sekalinya manja pasti lucu, dan sekalinya ngambek enggak lama, ngambek juga ada alasan, alasan itu dipakai buat introspeksi, biar nemu jalan keluarnya dan saling terbuka, dan itu semua ada dalam diri kamu, Al."

BIANTARA [Terbit]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora