20 . Hangat

1.3K 114 0
                                    

Alarmku berbunyi, tepat pukul 18.00 aku menyudahi materi yang kupelajari. Rupanya benar kata Mahesa, mata pelajaran Kimia semakin tinggi tingkatannya, semakin susah pula rumus dan cara penyelesainnya. Jadi ini alasan Mahesa berusaha mencintai Kimia mati-matian, mempelajari asam sulfat dan magnesium hidroksida saja sudah membuatku cukup menderita apalagi Benzana. Aku mendengus, mempelajari Kimia sama saja mempelajari dua reaksi yang berbeda, jika tak paham, aku akan salah menciptakan reaksi, dan bisa saja menimbulkan toksik atau ledakan yang membuat semuanya luluh lantak. Sama dengan menyikapi suatu keadaan yang tak paham ilmu dasarnya, kan? Tidak akan puas bila tak menemukan reaksi yang pas dengan diri sendiri.

Untuk kali ini, aku merasa puas mempelajari beberapa materi sebelum esok bertempur lagi. Aku menghela napas. Sudah ada empat hari sejak perdebatan di Richeese Damar tetap diam, apakah mungkin dia menungguku untuk menghubunginya terlebih dahulu? Bukannya enggak mau mencoleknya, tapi aku masih belum yakin dia paham dengan mood-ku yang mendadak berubah drastis tak mengenal tempat.

Aku menimang-nimang keinginanku lagi, aku sudah memegang ponsel dari awal menutup buku catatan, tapi aku ragu hendak mengirim obrolan untuknya. Aku hanya takut mendapat respons yang tidak bisa kuterima.

Ayo Alka, coba deh, kirim chat dulu.

Aku menggigit bibir bawah. Bahkan, tanganku sampai gemetar. Berulang kali mengetik sesuatu pada ruang obrolan WhatsApp, tapi berulang kali juga aku menghapus dan mengurungkan niat untuk tidak mengirim chat padanya. Padahal, status online pada bar WhatsApp milik Damar terpampang jelas di dalam ponselku, namun kenapa dia tidak bertanya tentang kondisiku?

"Alka, makan dulu, yuk." Aku menoleh ke arah sumber suara. Om Anjas menampakkan diri dari balik pintu kamar yang aku biarkan terbuka. Lelaki paruh baya itu tampak letih selepas dinas, bahkan dia masih mengenakan kaus abu-abu berlogo polri di dada kirinya.

Aku mengangguk, mendorong kursi belajar menggunakan sudut lutut. Tak ingin meresponsnya dengan ucapan, aku berlalu, membiarkan Om Anjas berjalan di belakangku. Seperti mengetahui mulutku yang selalu saja bungkam, dia paham bahwa aku tak mungkin berkata panjang lebar dengannya, dan akhirnya memilih untuk mengekor tanpa suara.

"Udah makan berapa kali hari ini?" tanya Mama setibanya aku di meja makan. Dia tampak sibuk menyiapkan beberapa mangkuk dan piring berukuran besar berisi sayur mayur serta lauk pauk yang tercium nikmat.

"Sekali aja Mah, pagi tadi waktu mau barangkat sekolah," jawabku, meletakkan ponsel di atas meja makan.

Mahesa sudah ada di dekatku, dia tampak serius membaca rentetan bubble chat dari seseorang bernama ... Letta. Sengaja sekali aku mengamatinya seperti ini, dan aku rasa Mahesa sedang berseteru dengan gadis itu, lewat keningnya yang mengerut, aku tahu dia sedang marah.

"Mama masakin kangkung campur udang kesukaan kamu." Aku tersenyum saat Mama meletakkan satu centong nasih di atas piringku. Sedetik kemudian aku menoleh, mendapati Mahesa berdecak lidah sebal. Sebenarnya mereka bertengkar karena apa, sih?

"Hes, makan dulu, hpnya ditaro," omel Om Anjas yang sepertinya sama denganku, terganggu karena Mahesa uring-uringan. "Enggak sopan marah-marah pas lagi makan." Aku melirik ke arah pria berumur itu, aku tahu dia sedang menyindirku karena kejadian beberapa minggu lalu. Ah, masa bodo, seusai makan aku langsung menuju kamar.

"Kemarin Mahesa udah ngasih brosur Unair ke kamu, kan?" tanya Mama, aku menjawab dengan anggukan. "Gimana udah ada pandangan mau pilih jurusan apa?"

Aku mengamati keadaan sekitar. Mama tengah sibuk memotong ayam menjadi berkubu, menjadikannya satu sekutu, lalu memisahkan antara daging dan tulang. Sedangkan Om Anjas tampak lahap menyantap sosis yang dipotong menjadi dua, dan Mahesa, dia sesekali memastikan layar ponselnya, apakah ada pesan baru atau tidak. Semua sibuk dengan kegiatannya. Sama halnya denganku, aku mulai lahap mengunyah kangkung buatan Mama.

"FK," jawabku lantas meneliti raut wajah mereka yang tampak tak percaya dengan pernyataanku. "Iya, aku pilih kedokteran umum. Kenapa semuanya kaget, hm?" tanyaku sarkasme. Kenapa mereka menaruh tatapan seolah meremehkan ucapanku? Memang benar, aku adalah anak unik yang tak punya mimpi—yang kebetulan tumbuh dalam keluarga penuh visi dan misi.

Aku tertawa miris. "Kenapa semuanya ngelihatin aku gini, sih?" Tatapan mereka seolah heran dan tak percaya dengan keinginanku yang satu ini. Aku memang tidak segencar Mahesa menyampaikan cita-cita, atau bahkan aku tidak sama seperti anak-anak pada umumnya, dari kecil cita-citaku hanya mengikuti hidup tanpa memiliki keinginan tinggi tentang cita-cita. Dan menjadi dokter adalah keinginan tipis yang aku perjuangkan ala kadarnya saja.

"Mama keberatan soal biaya?" tanyaku lalu melirik ke arah Mahesa. Aku tahu keinginanku ini terlalu dadakan, mendaftarkan Mahesa saja sudah cukup menguras tabungan Mama dan Om Anjas, apalagi biaya pendidikanku yang berada satu tingkat di bawah Mahesa.

Mama menggeleng ragu. "Enggak ... Mama cuman kaget, pilihan kamu sudah mantap?" tanyanya. Aku menjawab dengan anggukan dan memilih mengunyah makanan tanpa jeda.

"Kalau sudah ada pembicaraan seperti ini, Papa bisa mengusahakan kalian berdua masuk kampus yang sama. Kalau sudah mantap, itu artinya kalian harus berusaha keras untuk mencapainya."

Aku menghirup napas panjang, lantas mengembuskannya secara kasar. Pria yang berharap ingin dipanggil Papa oleh anak sambungnya ini terdengar sama saja seperti hari lalu. Aku akan berusaha dengan caraku, dan kedudukannya sebagai perwira bukan berarti aku santai dan manja, aku akan membuktikan pada Mama dan Om Anjas bahwa aku bisa lolos dengan nilai terbaik. Hanya saja, untuk sekarang, aku tidak mau membalas ucapannya, biarkan dia tahu sendiri daripada berdebat lagi di ruang makan. Ubah mindset-mu Alka, jadikan meja makan sebagai tempat paling hangat untuk bertukar cerita, jangan lagi hadirkan emosi untuk dua orang yang kini menggantungkan harapan denganmu.

Akhirnya aku tersenyum, dan membuka layar ponsel. Damar mengirim WhatsApp.

Damario A. Biantara: 4 hari kamu diem, enggak kangen? (18.25)

Senyumku semakin merekah. Sepertinya aku harus menyudahi makan malam dan kembali belajar.

BIANTARA [Terbit]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora