25 . Tante Deli & Milo

1.2K 104 0
                                    

"Masa SMA memang masa paling indah, Al. Ada banyak kisah cinta yang terukir. Tapi aku rasa, kalau Kak Damar udah ngomong gitu, dia pasti serius, kalau dia enggak membuktikan omongannya, better you go. Cowok Indonesia asli juga enggak kalah cakep." Jeremi duduk di sofa panjang kamar. Ada Sukma yang tengkurap di atas ranjang. Dari pukul delapan pagi mereka di sini, merecokiku, menghabiskan camilan, dan terakhir membaca koleksi novelku. Mama tidak melarang mereka, justru dia memasak beberapa makanan kecil saat Sukma tanpa sengaja melontarkan candaan receh pada Mama, seperti: Tante Metta masakannya pasti enak, boleh dong, Sukma sama Jeremi dimasakin sama Tante. Dan Mama menurutinya.

Pembahasan hari ini masih sama, seputar Damar, dan kejadian kemarin. Kabarnya Dion belum melaporkan pertengkaran yang mengakibatkan kepalanya bocor, mungkin dia juga takut, karena bagaimanapun juga, Dion bersalah karena sudah menyulut emosi Damar dengan cara merendahkanku layaknya seorang pelacur.

Saat perjalanan ke rumah, Damar menjelaskan arti ucapan Dion, menurutku terdengar menyakitkan, karena bila diartikan dalam Bahasa Indonesia, Dion menyamakanku seperti perempuan murahan yang memberikan tubuh secara sia-sia pada sang pacar, padahal Damar tahu aku bukan perempuan yang mudah memberi kehormatan begitu saja. Itulah kenapa Damar emosi. Namun, ada hal lain yang belum dia ceritakan, belum saatnya, kalau Dion tidak melapor ke Bu Adisti, maka Damar-lah yang akan mengambil tindakan Rabu nanti.

Pukul 15.16 Sukma dan Jeremi masih di sini. Aku menekuri ponsel, Damar benar-benar sibuk, last seen WhatsApp terpantau aktif tadi malam pukul 19.40. Aku melenguh memantau langit yang mulai menghitam.

"Alka, ada tamu di bawah." Aku, Sukma, Jeremi menoleh ke arah sumber suara. Kepala Mahesa menyembul dari balik pintu kamar. "Ibu-ibu, cantik, dia bawa pet cargo," katanya. Aku dan Sukma saling tatap, Jeremi berlalu untuk memastikan situasi halaman depan dari balkon.

Siapa juga yang kemari bawa kandang kucing?

Terpaksa aku turun dari atas ranjang, meninggalkan kenyamanan bed cover dan mengikuti tubuh semampai Mahesa turun ke lantai bawah. Mama dan Om Anjas sudah menyambut perempuan itu dengan gelak tawa, dan mereka tidak menyangka bahwa kehadiran tamu tak diundang ini adalah tante Tante Deli yang memperkenalkan diri sebagai ibunda Damar.

Aku dan Mahesa saling lempar tanda tanya. Kenapa dia kemari membawa pet cargo yang berisi ras kucing mahal? Sungguh, aku seperti dibuat bodoh, bingung, dan tolol saat tersenyum kikuk menyapa perempuan berparas oriental itu.

Tubuhku membeku saat Tante Deli memelukku. Perempuan necis ini terdengar heboh menilai wajahku tanpa polesan make up, katanya aku lebih cantik dan dewasa tanpa liptint dan mengenakan baju rumahan. Padahal beberapa hari lalu, dia meneliti penampilanku dari bawah sampai atas di depan ruang Pak Akbar.

Aku mau bertanya apa tujuannya kemari, tapi terkesan lancang. Ya sudah, lebih baik diam saja. "Ini kucing beneran, Te?" tanyaku spontan. Kucing cantik bermata biru itu melirikku dari dalam pet cargo aku kira hewan ini adalah boneka, tapi sepertinya perkiraanku salah ketika kucing itu mengeong. Apakah dia seorang dokter hewan yang membawa pasiennya kemari? Tapi buat apa?

"Maaf ya, Tante datang tiba-tiba. Ini ada titipan dari Damar, semalam dia heboh beli kucing. Katanya buat Alka dan dia nyuruh tante buat kasihin kucing ini ke kamu," ucapnya. Aku semula tidak paham apa tujuan Tante Deli kemari, sekarang semakin dibuat bingung akan tingkah laku Damar yang serba spontan. Dia tidak berunding dulu denganku.

Om Anjas dan Mama sama sepertiku, mereka masih syok atas kedatangan perempuan yang mengenakan terusan Jumpsuit hitam yang kini enggan untuk masuk ke dalam rumah. Kami bertiga saling lempar tatapan. Akhirnya, Om Anjas mempersilakan Tante Deli duduk. "Terus Damar-nya ke mana, Te?" tanyaku, seraya berjongkok untuk melihat lebih dekat kucing cantik berbulu putih yang ada dalam pet cargo merah muda.

"Damar di rumah Pak Burhan dari pagi. Anu, Jeng ...," ucapannya terhenti saat Mama berniat menuju Dapur. Tante Deli melambaikan tangan, mencegah Mama untuk tidak meninggalkan ruang tamu. Baiklah, panggilan 'Jeng' terdengar ningrat, sama seperti cara Mama memanggil rekan Bhayangkari-nya. "Saya enggak bisa lama-lama, soalnya harus praktik," lanjutnya.

"Oh, begitu toh. Padahal saya mau buatkan teh dulu." Mama mengeluarkan ponselnya. "Saya mau minta nomor panjenengan, supaya kalau ada apa-apa kita bisa kontekan." Aku dan Mahesa menahan tawa. Rupanya satu tahun di sini, Mama mengerti kromo inggil.

Tante Deli mengeluarkan ponsel dari dalam tas Dior cokelat yang dia bawa. Oke, baiklah. Dia memang perempuan sosialita, aku dan Mahesa terdiam, mengamati dua ibu sama hobi itu mengobrol di depan pintu setelah Tante Deli beringsut keluar dari ruang tamu.

Entah apa yang mereka bicarakan, tapi aku, Om Anjas, dan Mahesa bersatu untuk mengeluarkan kucing berbulu putih dari dalam pet cargo. Kucing itu tetap diam di dalam sana, sedangkan Om Anjas dan Mahesa mulai kehabisan ide untuk menarik perhatian kucing ras Belinesse ini. Sungguh, aku tidak tahu apa motivasi Damar menyuruh ibunya kemari hanya untuk mengantar hewan berbulu lebat ini, dan anehnya Tante Deli menuruti keinginan Damar. Aneh sekali hubungan antara anak dan ibu ini.

Mahesa berhasil mengeluarkan kucing itu dengan bantuan sepotong paha ayam goreng yang dapat membuat anabul itu keluar dari pet cargo. "Ada kertas dari dalam kandangnya," ucap Mahesa, dia membaca tulisan yang ada di kertas itu. "Namanya Milo, ras Balinesse, tipikal kucing haus perhatian dan enggak suka dicuekin, kalau dicuekin dia mogok makan."

Aku menyimak cara Mahesa membaca tulisan cakar ayam dalam kertas binder yang terselip dalam pet cargo. Aku merampas kertas kusut yang berada pada genggaman Mahesa. Aku tidak tahu apakah ini tulisan Damar atau bukan, selama ini aku terlalu sibuk meratapi kesibukannya, dan aku rasa Damar juga tidak punya waktu untuk memperlihatkan tulisannya padaku.

Selepas Tante Deli pamit dan masuk ke dalam mobilnya, Mama berjalan menuju ruang tamu, kucing itu membuat Mahesa terbahak karena tingkah polosnya. Milo termasuk kucing aktif, dia tak sungkan bermanja-manja di bawah kaki Mahesa.

Mama berkacak pinggang sesampainya di dalam rumah. "Jadi, itu tadi calon besan Mama, Al? Cantik, ya. Dokter gigi pula."

Aku tersenyum kikuk.

"Emang beneran Alka sama Damar bisa langgeng, Mah?" timpal Mahesa. Kenapa senyumnya seperti tidak ikhlas begitu? "Aku naik ke atas lagi ya, Pa. Lanjutin belajar," ucapnya acuh tak acuh, membiarkan kucing bermata biru cerah itu mengekor di belakangnya.

Sukma dan Jeremi turun dari lantai dua, mereka berpapasan dengan Mahesa yang juga menaiki tangga. Sukma heran, kenapa juga ada kucing berbulu lebat di rumah ini? Padahal, dari awal dia kemari Milo tidak ada di sini.

"Mamanya Damar yang bawa," ucap Om Anjas. "Mungkin buat Alka." Om Anjas menangkap Milo yang tengah berlari girang menuju ruang tamu. Kucing itu pencicilan sekali, sih!

Mulut Sukma melongo. "Wow, kayaknya udah dapat lampu ijo, nih."

"Aminin, jangan?" Goda Jeremi.

"Amin paling serius, lurrrrr!" Teriak Sukma. Aku menimpuknya dengan bantal sofa.

BIANTARA [Terbit]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu