27 . Sanksi

1.2K 97 2
                                    

Sudah pasti keberangkatanku menjadi awal dimulainya profesi baru, sebagai satpam dadakan. Mahesa tidak peduli dengan kesunyian yang terpampang jelas di depan sana. Sekolah masih gelap, dan dia tidak pernah bertanya bagaimana reaksiku setiap saat berdiri di pos satpam tanpa satu orang pun manusia ketika Mahesa mengantarku pagi buta seperti ini. Gila, sekarang pukul lima pagi, dan aku sudah siap menjalani profesi baruku, bagus. Aku ingin sekali melayangkan bom tangan pada cowok berambut trendi ini.

"Aku mau pulang." Aku mendengus. Bahkan, aku tidak mau turun dari mobil. Di luar sana terlalu menyeramkan. "Mahesa denger enggak, sih?" Percuma saja aku berteriak. Walaupun menggunakan microphone masjid tetap saja membuat dia menutup telinga, pura-pura sok tuli.

Laki-laki yang kini menyandang gelar sebagai kakak tiri hanya terkekeh, dia menggodaku lewat seringai sialan itu. "Kita tunggu sama-sama di sini." Mahesa tak menghiraukanku. Justru dia sibuk dengan gawainya. Rasanya aku ingin kembali pulang. Tidurku tidak pernah cukup, aku rasa sebentar lagi Anemia mengganggu metabolismeku. "Kalau ngantuk tidur aja," katanya. Kali ini dia menutupi rok sepanku dengan jaket hitam miliknya.

Masih pukul lima lewat tiga pagi. Aku bersandar, sabuk pengaman masih melindungi tubuhku. Mahesa tidak banyak bicara. Dia membaca beberapa soal yang semalam menjadi alasannya untuk tidak makan. Kasian sekali dia, pasti otaknya lagi panik menyusun keping ingatan terkait cara dan penyelesain rumus Kimia. Hari ini dia mengikuti lomba, tapi untuk apa juga dia membaca soal itu lagi? Yang ada malah nge-blank berhadapan dengan soal nanti baiklah.

"Hes," panggilku. Kali ini kutelurusi pergelangan tangannya. "Udahan belajarnya, kamu enggak capek baca terus dari semalam?" Kali ini mataku membulat. Cara pandang Mahesa meluluh. Lagu berjudul Playdate menggema luas di tiap sudut mobil. Untuk seperkian kalinya, dia mau menuruti permintaanku yang tidak langsung menyuruhnya untuk bersandar dan memanjakan punggungnya.

"Al." Mahesa memanggilku, suaranya terdengar bergetar. Entah apa yang ada dalam pikirannya, tatapannya selalu melemah saat dia ingin mengutarakan sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. "Salah enggak sih kalau aku masih sayang sama kamu?" Suaranya sedikit pelan tapi tegas. Aku sedikit terbatuk saat dia melontarkan pertanyaan itu pagi buta begini.

"Kenapa kamu masih sayang sama aku?" Intonasiku terdengar seperti orang tak punya gairah hidup. Terlalu lemah sampai-sampai membuat Mahesa duduk, dan menegakkan sandaran mobil. Namun, untuk kali ini, aku mencondongkan tubuhku untuk menatapnya dari jarak lima senti.

"Ngelupain kamu itu enggak segampang aku ngelupain Letta. Empat tahun, Al. Bukan waktu yang sebentar untuk kita berdua, kita selalu ngelewatin suka duka. Kamu selalu ada dalam kehidupan aku sampai saat ini," ucapannya memberatkan langkahku. Aku hanya mampu membalas tatapannya dengan kilatan mata penuh penyesalan. Andai ... andai saja kita tidak ditakdirkan dalam situasi seperti sekarang, Hes.

Aku meremas jaket kulitnya. Aku tidak peduli apa yang Mahesa inginkan sekarang, dalam hitungan satu menit, aku menangkap tangannya, mencium tangan yang tak pernah berhenti memedulikanku. Tangan ini selalu ada di saat situasi sedang hancur, duka, dan penuh air mata, dan tangan ini selalu memanjakanku lewat sentuhan-sentuhan tak terduga. Benar, aku memang sedang berjuang untuk melupakannya, tapi perjuanganku belum tentu mengikhlaskanku untuk mencapakkan laki-laki ini. Empat tahun adalah masa paling indah untuk mengukir kenangan.

Aku melirik takut-takut. Mahesa masih memperhatikan tangannya yang kini kutempelkan dengan sengaja di pipi kiriku. "Ini semua seperti mimpi, Al. Kamu terlihat bahagia dengan Damar, sedangkan aku hanya bisa merasakan kebahagiaanmu yang lain. Selama ini, aku selalu tahu apa yang kamu butuhkan, tapi aku mengabaikannya, hanya semata-mata agar aku terlihat enggak peduli. Rasanya sakit, di saat kamu kehilangan separuh diri kamu, aku berusaha menahan diri untuk tidak mengantarkan kamu konsul. Di saat kamu menangis tengah malam, aku menahan diri untuk tidak datang ke kamarmu, karena aku terlalu takut kamu berharap sama aku lagi. Aku takut kamu enggak bisa jauh-jauh dari aku, maafin aku, Al."

BIANTARA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang