18 . Sebuah Permintaan

1.4K 134 2
                                    

Kalau aku ditanya soal cita-cita sudah pasti aku tidak bisa menjawab. Sampai sekarang aku tidak tahu harus menggantungkan harapan atau tidak perihal masa depan yang selalu diperebutkan banyak siswa. Aku berdiri tak jauh dari gerbang, menunggu Mahesa menjemput. Sungguh, sekarang pikiranku berkecamuk tiap kali mendengar siswi kelas sebelas mulai merancang prodi yang mereka inginkan.

Satu minggu berlalu sejak HUT sekolah aku mulai disibukkan dengan persiapan UTS dan UAS. Aku sedikit down karena tidak sama seperti siswa lain, mereka terkesan bersemangat dengan harapan yang tersemat tiap kali ditanya oleh Bu Adisti perihal jurusan yang diinginkan. Andai saja aku punya keinginan yang kuat tentang pandangan profesi yang tepat suatu saat nanti, sudah pasti aku ambisius seperti Mahesa.

"Jangan panas-panassan gitu." Damar merangkulku dari belakang. Kehadirannya selalu tiba-tiba. Aku sadar sudah menyiksa diriku di bawah terik matahari pukul dua siang. Pulang cepat adalah keinginan seluruh siswa termasuk aku.

"Mau pulang bareng?" tawarnya setibanya di parkiran.

"Aku enggak bawa helm." Aku mengedikkan bahu. Setiap pagi aku selalu berangkat bersama Mahesa, dan aku pasti lupa membawa helm itu di bagasi mobil. Padahal berkali-kali Damar menyuruhku membawa helm pemberiannya. Aku menyengir menutupi rasa bersalah. Tapi, cowok bermata cokelat terang ini malah tersenyum dan memaklumi.

"Aku enggak mungkin beliin helm kamu sekarang, kan?" Aku tahu Damar bercanda, tapi kenapa terdengar nada kekecewaan dari dalam ucapannya?

"Jangan marah." Aku menggenggam tangannya, mengerucutkan bibir seolah aku minta dimaklumi lagi. "Aku enggak tahu Mahesa bakalan jemput cepet atau enggak, soalnya dia belum selesai pelajaran," ucapku berusaha menarik simpati Damar.

"Apa aku pinjam helm Pak Satpam lagi, ya?" Ideku ini sudah aku pakai berkali-kali. Setiap kali tidak membawa helm, aku lari ke pos satpam dan merengek agar Pak Samsul meminjami helmnya.

"Kamu itu selalu lupa, aku yang ke Pak Samsul aja." Aku membiarkan Damar meninggalkanku di parkiran. Dia berjalan menuju pos satpam yang tak jauh dari gerbang.

Aku berharap di hari-hari selanjutnya, otakku tidak menyepelekan helm pemberian Damar yang selalu aku letakkan di rak helm garasi. Mahesa yang membuatku lupa membawa helm itu, karena dia selalu tergesa-gesa berangkat sekolah. Dia terlalu berambisius datang lebih awal. Atau bahkan, bagi Mahesa telat masuk sekolah adalah dosa besar yang harus dia hindari.

"Nih." Damar memakaikan helm di kepalaku, mengancingnya, dan menutup kaca helm bermerek INK hitam ini. Entah disengaja atau tidak, saat kaca helm menutup seluruh permukaan wajahku, dia mendaratkan satu ciumannya di atas kaca bening itu.

Aku celingukan, berharap tidak ada siswa lain yang menyaksikan adegan barusan. "Damar, malu kalau dilihatin orang."

"Aku lebih malu lagi kalau kamu enggak mengakui aku sebagai pacar," ucapnya. Memang sampai sekarang aku belum memublikasi hubungan ini. Karena menurutku, biarkan semua orang menebaknya sendiri tanpa harus memberitahu mereka.

"Mereka enggak perlu tahu, tugas mereka mencaritahu sendiri. Akan lebih asyik kalau mereka tahu dari mulut ke mulut, biar aku enggak terkesan pamer juga karena punya pacar seperti kamu." Memang benar, kan? Aku tidak mau memberitahu mereka bukan karena aku tidak ingin mengakui Damar sebagai milikku. Aku hanya tidak mau mereka menganggapku hanya menilai Damar lewat rupa menawan, aku ingin mereka tahu bahwa aku mencintai Damar karena sifatnya yang unik. Pendiam tapi bisa memukul lawan dengan kalimatnya yang menohok, juga karena pemikiran luar biasanya mempertahankan kenyamanan untuk dirinya sendiri.

Damar mencintai dirinya sendiri, maka dari itu aku tidak ragu menerimanya. Karena seseorang yang bisa mencintai dirinya sendiri tidak akan menuntut pasangannya untuk membahagiakan dirinya. Karena kadar kebahagiaan setiap orang itu berbeda. Bahkan, sampai sekarang Mama, Om Anjas, dan Mahesa tidak pernah tahu bahwa Damar sudah menyandang status berpacaran dengan sosok kepala batu di rumah yaitu aku. Itu karena aku ingin mereka tahu sendiri dari tindakan Damar yang selalu mengantarku pulang ke rumah, atau sekadar membawakan makan malam saat mereka semua pulang larut malam.

BIANTARA [Terbit]Where stories live. Discover now