1 . Suara Parau dari Laki-Laki Tua

2.7K 213 7
                                    

Apa hal yang paling menyebalkan ketika bangun pagi dan dikagetkan dengan suara kakak tirimu yang pernah menjadi mantanmu? Menyebalkan. Suara kentongan ronda ia pukul kencang tepat di atas kepalaku. Aku yang masih mengumpulkan nyawa berencana menghantamnya dengan tupperware ciki-ciki di atas meja belajar saat semua nyawaku sudah terkumpul.

"Ih, Mahesa! Bisa enggak, sih, kamu diem, tenang di kamar, makan camilan? Masih jam lima pagi, astaga." Tak jadi kulayangkan tupperware ke arahnya. Hanya bantal biru yang lumayan keras bisa menimpuk mukanya yang sekarang berseru girang karena membuatku marah.

"Alka, Trimurti sama Antartika itu jauh, ya. Trimurti masih di Surabaya, Antartika udah di Sidoarjo. Mikir dong kalau mau ngajak telat bareng dan bolos."

Aku yang masih malas menanggapi omelannya, hanya mengacungkan jari tengah. Bukan salahku jika dia telat, dan bukan salahnya jika aku telat. Kami sama-sama keras kepala perihal keputusan dalam memilih tempat baru. Om Anjas—lebih tepatnya Ayah tiriku menyarankan SMAS Hangtuah sebagai sekolah baru kami, namun kami berdua sama-sama kekeh dengan pilihan masing-masing.

"Bangun! Gak pake tapi!" Mahesa yang sepertinya geram, kini menarik kaki kananku dan mengibaskan selimut ke lantai.

"AC masih enak banget buat nemenin bolos, Hes." Aku menarik ujung ranjang agar Mahesa kesusahan menarik kakiku.

"Mana ada! Ayo, aku ada latihan karate, Al, pagi ini."

"Lima menit lagi."

"Dua menit."

"Empat menit lagi, ya."

Mahesa melepas cengkeramannya pada pergelangan kakiku. "Oke, belum mandi aku tinggal. Enak aja seenaknya gini." Ia berjalan menuju pintu kamar, membawa kentongannya kembali, hendak keluar.

Aku berbaring terlentang. "Siapa suruh mau terima ajakan Om Anjas buat jadi saudara sambungku," gerutuku yang membuat Mahesa tiba-tiba berhenti di bibir pintu. Dia menatapku sekilas, tatapan yang entah sejak kapan tidak pernah kusukai. Yang jelas semenjak Papa Adit meninggal, kedatangan Mahesa dan Om Anjas dalam hidupku cukup membuat mentalku down.

Menyayangi Mahesa, namun harus memutuskannya demi sebuah amanah yang diberikan Papa. Aku terkurung dalam drama keluarga ini dan aku adalah korban dari keikhlasan yang sebenarnya.

OSIS Periode 2018/2019

Jeremi Adi Gunawan: Rapat untuk HUT SMA Antartika kita adakan jam 8, ya. Harap stay di ruang osis sebelum jam 7, ttd ketos gantenk. (05.04)

Alexandra Jimmy Batubara: Songong, njing. Jeremi turun pangkat 2018. (05.06)

Jeremi Adi Gunawan: Siriq aja bosQ. (05.06)

Tania Manggada: Diem wahai anak Yesus. (05.07)

Risma: Iya siap. (05.08)

Jeremi Adi Gunawan: Kayaknya saya perlu saran Alka terkait surat menyurat, wahai ibu sekretaris tercinta. Apa Anda siap bersanding dengan Mas Jimmy dalam urusan ini? (05.08)

Risma: @Alka A. Balaprhadana (05.09)

Alexandra Jimmy Batubara: Sayang @Alka A. Balaphradana bangun, dong. (05.10)

Tania Manggada:@Alka A. Balprhadana (05.12)

Setyawan Putra: @Alexandra Jimmy Batubara tikung dia di sepertiga malam. (05.13)

Alexandra Jimmy Batubara: Aku kristen, cok. (05.13)

Abdullah Putra Mahreem: Iya siyap BosQ, lagi otw buat buka ruang osis sama @Enjel Kirana (05.14)

Enjel Kirana: Send a new photo (05.14)

Enjel Kirana: Udah otw, ngebut. Mau pada dipesenin nasi kuning ga? Uang kas buat makan kita lumayan berjut-jut soalnya. (05.14)

Jeremi Adi Gunawan: Pesenin aja, tapi bawa bekal ya dari rumah. Kemungkinan sekretaris siang ini keluarin surat tugas biar kita enggak masuk kelas dan fokus ngatur acara. Dua minggu lagi kan udah mulai acaranya, jadi kita harus adain acara yang beda dari tahun kemarin. (05.16)

Alexandra Jimmy Batubara: Kerja keras bagai kuda, sayang. @Alka A. Balaphradana. (05.18)

Alka A. Balaphradana: Otw. (05.20)

Setelah membaca habis seluruh chat dari grup besar osis, aku segera merapikan kegaduhan yang dihasilkan Mahesa di kamar dan berlari tunggang langgang ke kamar mandi sebelum Mama menempati ruangan itu dan harus menunggu lama. Belum lagi Om Anjas yang terkadang protes saat ia terpaksa mengantre dengan sisa metabolisme makan malam tidak bisa ditahan di ujung anus.

"Bangun juga anak cantik." Goda Mahesa saat mendapatiku tengah turun dari tangga lantai dua dan melipir membuka pintu toilet. Rambutnya basah, dan ia hanya memakai handuk yang menutupi setengah badannya. Pemandangan yang setiap pagi harus kulihat.

Sebelum benar-benar masuk ke pintu toilet aku berhenti sebentar. "Hes, kamu godain aku lagi, akan aku laporin ke komnas perempuan."

Dia mengernyit. "Atas dasar?"

"Pelecehan."

"Dih, sok. Mana ada aku ngelecehin kamu? Emang itu kenyataannya kamu cantik." Dia mendekatiku sampai tandas di dekat pintu kamar mandi. Tak kehabisan ide, aku mengambil handuk yang tersampir di tengkukku, dan memukul dada bidangnya.

"Lulus dulu di nilai kimia, baru sok-sok-an mau ngegoda."

"Bacot," ketusnya. Dia meninggalkanku begitu saja.

Om Anjas yang sepertinya mendengar perdebatan sengitku kini mampir ke lorong kamar mandi yang hanya dipasang satu lampu ber-watt tinggi. Cahayanya yang terang mampu membuatnya sedikit menyipitkan mata untuk meminimalis rasa tak nyaman yang dihasilkan cahaya putih itu. Dia datang dengan satu cangkir kopi di genggamannya, berbalut baju abu-abu dengan simbol kepolisian dan celana keki hitam licin.

"Masih pagi, Al," ucapnya parau.

"Mahesa yang nyari masalah duluan, bukan saya, Om." Tak ingin memandangi raut mukanya lagi. Aku segera masuk ke kamar mandi dan mengguyur kepalaku dengan siraman air. Entah sampai kapan ia selalu mengingatkanku tentang kematian Papa.

BIANTARA [Terbit]Where stories live. Discover now