8 . Gerakan Hati

1.9K 141 7
                                    

"Ini kenapa pigura foto ditaro di samping tangga?" Suara Mama menghentikan langkahku di depan daun pintu kamar. Aku diam, tak mengindahkan Mama, malah kepalaku menoleh melihat lampu kamar Mahesa dari bawah celah pintu, masih padam.

Kamar Mahesa terletak bersebrangan dengan kamarku, sedangkan lorong pemisah antara kamarku dan kamarnya berisi rak buku-buku lama yang kubeli dari Jayapura. Semacam perpustakaan mini yang sengaja kudesain khusus untuk pemandangan estetik lantai dua ini. Bisa dibilang, aku menguasai seluruh lantai dua, sedangkan alat gym Mahesa tersingkirkan di bawah, dekat dengan taman halaman belakang.

Aku menuruni tangga. Malas tahu dengan omelan Mama. "Setiap kamar wajib pasang foto keluarga, ini punya siapa yang dicopot terus ditaro di sini?" tanya Mama lagi. Dia sepertinya tahu bahwa aku tersangka utamanya. Karena tidak mungkin juga Mahesa melepas foto keluarga di kamarnya, lagi pula kenapa orang tua satu ini alay sekali, sih? Perkara foto keluarga saja dia ngomel sampai menghabiskan tenaga di pagi hari ini.

"Alka!" Cara Mama memanggilku sama seperti memanggil tukang rosokan saja. "Kamu lepas foto keluarga di kamar kamu?"

Aku mengangguk polos. Tak berniat untuk menanggapi ucapannya dengan omongan lagi. Kurasa dengan caraku mengangguk bisa membuat Mama sadar bahwa aku tidak mau berdebat dengannya dulu pagi ini. Karena semalam aku berpikir panjang saat pukul 3 pagi, aku tidak akan bisa tenang jika merespons ucapan Mama dengan amarah.

"Kenapa dicopot?"

"Penuh-penuhin tembok," jawabku santai seraya meneguk air dingin dari dalam kulkas. "Lagian kenapa sih, Mah, foto sebesar itu dipajang di kamar? Penuh-penuhin tembok tau, gak?" Sepertinya aku memang tidak bisa tenang barang sehari saja. Meladeni Mama dan memulai peperangan adalah sejarah lama yang terus terulang sampai sekarang.

"Mahesa aja enggak protes." Mama mengambil foto itu, masih berdiri di dekat tangga, ia menatapku, berharap agar aku meladeninya lagi. Baiklah kalau itu mau Mama, mulut ini masih mampu merespons ucapannya dan bukan Alka namanya kalau tidak bisa melawannya.

"Mahesa enggak sama kayak aku. Lagi pula aku punya privasi sendiri, itu kamarku, dan enggak ada yang boleh masuk tanpa izin dari aku. Gimana, sudah paham arti dari privasi?"

Aku berlalu, menuju kamar mandi dan meninggalkan Mama yang tampaknya geram di sisi tangga penghubung antara lantai satu dan dua. Aku tidak tahu mewarisi cara berdebat dari siapa. Setahuku Papa tidak pernah melawan Mama seperti aku mendebat Mama barusan. Semua respons itu timbul saat kenyamananku diusik, dan kurasa aku tahu cara menghantam lawan lewat semua buku yang kubaca, membaca buku sama dengan menambah kosakata baru untuk berbicara bukan?

"Mama seharian ada acara sama Papa kamu, jaga rumah baik-baik, kalau main inget waktu!" teriaknya dari luar kamar mandi. Aku memutar bola mata, bangga sekali Mama menyebut Om Anjas dengan panggilan 'Papa'.

***

Hari Jumat SMA Antartika menerapkan wajib mengenakan seragam pramuka. Aku rasa peraturan baku itu diterapkan beberapa sekolah yang ada di Provinsi Jawa Timur. Walaupun sekolahku adalah yayasan swasta, tapi dalam hal kerapian SMA Antartika juaranya. Tidak ada istilah bad boy seperti dalam novel-novel naik daun tahun ini, sekolahku murni menerapkan cara berpakaian rapi dan seluruh siswa wajib menaatinya. Jika saja ada siswa yang melanggar aturan itu, seperti mengeluarkan baju, atau bahkan memakai sepatu yang bukan pantofel, sudah pasti Bu Adisti dan Pak Mega selaku guru BK dan bidang kesiswaan menyitanya dan mendapat surat teguran yang ditujukan untuk wali murid.

Dan sialnya hari ini aku terlambat. Entah hal apa yang membuat Mahesa tiba-tiba tidak masuk sekolah, aku rasa dia terlalu letih sampai lemas dan akhirnya demam. Karena hal itu, aku sedikit drama ketika Om Anjas berinisiatif mengantarku menggunakan motor pemberian kantornya. Aku tidak mau naik kendaraan itu karena plat nomor yang dengan terang-terangan bisa membuat siswa-siswi berpikir aku pamer kedudukan orang tua. Motor kepolisian berstiker polri di plat nomor hitamnya sudah pasti membuat semua anak mengira bahwa aku anak polisi yang sombong. Akhirnya Om Anjas mengiakanku, dan memilih untuk memakai Honda Jazz hitam milik Mahesa. Kesialan aku dapatkan ketika jalanan Surabaya macet, dan jarak antara Gubeng-Sidoarjo ditempuh hampir satu setengah jam. Sungguh nasib yang malang, sekarang aku tengah menerima hukumanku, mengepel ruang guru bersama beberapa siswa telat lainnya.

BIANTARA [Terbit]Where stories live. Discover now