30 . Penguat Asa

1K 71 0
                                    

Ternyata bukan mimpi buruk. Aku bisa merasakan kepalaku seperti dipukul ribuan besi, ditancap jarum pentul, dan dimakan untuk santap siang raksasa. Pening sekali, semalam aku menangis, membuat Mahesa dan Mama berkacak pinggang sebal menanggapi kenyataan yang aku ceritakan. Ya, cerita buruk yang mengganggu metabolismeku hari Sabtu ini. Damar bajingan! Seharusnya aku tidak mudah terbuai dengan pesonanya. Ngapain bikin kue berdua di rumah? Kenapa dia tidak menyuruhku untuk mengajarinya membuat kue? Lagian, berdua dalam satu rumah tanpa pengawasan orang tua apalagi kalau niatnya tidak aneh-aneh? Aku tidak sebodoh itu, aku sudah khatam berbuat nakal ketika masih bersama Mahesa. Dan Letta ... Ayolah, bahkan Damar sendiri bilang kalau dia tidak mau berurusan lagi dengan cewek kardus itu.

"Makan dulu, jangan galau melulu." Mama datang dari luar. Membawa nampan berisi bubur ayam langgananannya. Pak Ujang, orang asli Bandung yang sudah lama jualan bubur ayam di depan pos satpam selalu menjadi bulan-bulanan Mama. Saat Pak Ujang tidak datang atau libur, alamat Mama tidak akan sarapan, dan dia pergi ke mabes dalam keadaan perut kosong, emang dasar pilih-pilih makanan. Kegiatan rutinnya mengikuti Om Anjas tugas di markas besar setiap Senin sampai Jumat. Dan sekarang, aku tidak tahu kenapa Mama mengenakan pakaian resmi kebanggaan Bhayangkari, scraf batik indah itu sudah menutupi lehernya.

"Mama mau ke mana?" tanyaku heran. Sekarang hari Sabtu, seharusnya Mama diam di rumah, dan menerima katering dari ibu-ibu arisan. "Cantik banget." Aku bergumam, tanpa meneliti raut mukanya. Bubur Pak Ujang memang pas disantap pagi hari seperti ini. Ternyata, menangis semalaman bisa membuat perutku kosong.

"Ada acara baksos, ini udah masuk minggu kedua acara bakti sosial panti asuhan. Kayaknya Mama pulang agak sorean." Mama menyelipkan rambutku ke belakang telinga. Akhir-akhir ini, dia memperlakukanku layaknya anak kecil, memanjakanku dengan baju baru yang tiba-tiba nangkring di atas kasur, kue tart di atas meja belajar, dan juga novel-novel baru yang terbit di tahun 2018. Sebenarnya aneh, selama hidup bersama Mama dia tidak pernah romantis pada anaknya. "Kamu kapan konsul lagi ke Pak Bram?" tanyanya.

Aku mematut rambut, menyanggulnya setinggi mungkin. "Aku enggak yakin mau curhat lagi sama Pak Bram," kataku. Bukan berarti aku tidak mau membeberkan masalah yang mengganggu kesehatanku pada pria berambut buzz cut itu lagi. Tapi aku tidak mau ke tempat itu karena Pak Bram pasti mendiagnosa tipe depresiku, aku hanya tidak mau menerima kenyataan bahwa aku punya gangguan mental yang tidak stabil.

Apalagi sejak memergoki Damar membawa Letta ke rumahnya, aku tidak bisa tidur nyaris sampai pukul lima pagi. Hal itu membuat Mahesa dan Mama bolak-balik memastikan kondisiku yang terpukul, menangis semalaman di balik selimut. Aku tidak bisa pura-pura kuat, selama ini aku percaya pada Damar, tapi kenapa dia menjilat ludahnya sendiri? Bahkan, dia tidak mencari kabarku, padahal dia tahu aku menangis sesegukan ketika memutuskan untuk membuka pintu mobil dan pulang.

"Kamu enggak baik-baik aja, jangan sembunyiin apa pun dari Mama. Mama hanya enggak mau kamu pendam masalah kamu sendirian, dan ujung-ujungnya nyalahin Mama. Padahal Mama udah mati-matian ngertiin kamu." Tatapannya sayu. Aku mengerti. Saat aku berselisih dengan Mama pun aku paham bahwa dia tidak berniat meneriakiku, kami berdua sama-sama keras kepala, mementingkan ego untuk memenangkan kepuasan masing-masing. Sifat keras dan kaku itu aku dapat langsung darinya yang tidak mau kalah.

"Kamu pikir, selama ini Mama diam aja lihat kamu ngurung diri di kamar? Enggak, Al. Mama biarin kamu nunda-nunda ngasih nomor mamanya Jeremi, karena Mama tahu kamu enggak mau didesak, kamu bertingkah seolah bisa ngelewatin semuanya sendirian, padahal kamu itu enggak bisa menghindar dari kondisi kamu. Tanpa sepengetahuan kamu, Mama sama Papa putusin pergi ke tempat praktik Pak Bram untuk tanya hasil konsultasi, dan beliau juga sama seperti Mama mencemaskan kondisi kamu." Aku melongo. Oh, ternyata karena ini Mama memaksa meminta nomor Jeremi. Aku sengaja menitipkan hasil konsultasi pada Tante Widya, karena aku rasa Mama tidak perlu tahu, hasil konsultasi yang diberikan Pak Bram pada Tante Widya berupa hal apa yang aku perlukan untuk mendukung kenyamananku agar tidak terlalu mengingat hal traumatis.

BIANTARA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang