9 . Tidak Diminta

1.8K 138 5
                                    

"Eh, tadi bisa ngerjain soal Matematika enggak?" Jimmy mengetuk jidatku. Dia selalu seperti ini. Membuatku terkejut dengan caranya yang datang tiba-tiba. Aku menutup novel, dan membagi ruang kosong di sebelahku. Tak lupa mematikan headset yang dari tadi menemaniku duduk di depan kelas sendirian.

Aku mengingat jumlah soal, ada sepuluh butir soal esai—yang tentu saja setiap jawabannya beranak pinak. Aku sempat menyerah menjabarkan cara-cara untuk menemukan jawaban akhir, tapi berhubung otak Jeremi juga sama encernya denganku, aku dan dia memutuskan untuk bekerja sama selaku teman sebangku, untungnya Pak Hendra tidak tahu karena dia sibuk bermain ponsel di meja guru.

"Lumayan, kamu gimana?"

"Sukma cuma ngasih tiga jawaban aja, jadinya aku nulis jawaban yang sama kayak punya dia," katanya. Iya, Jimmy duduk sebangku dengan Sukma sejak awal kelas sepuluh. Entah hal apa yang membuat mereka bertahan duduk bersama sampai sekarang, namun melihat mereka bertengkar hampir tiap hari membuatku dan Jeremi menaruh tanya. Jimmy selalu saja mengganggu ketenangan Sukma, dan berakhir dengan Sukma yang menampar Jimmy.

"Kenapa enggak panggil aku sama Jeremi?"

"Gimana mau panggil kalian? Lha, kalau kita noleh ke belakang otomatis ketahuan sama Pak Hendra, dong."

Benar juga. Posisi tempat duduk kami memang tidak strategis untuk menyontek. Jeremi dan Sukma duduk di bangku paling depan deret kedua dari pintu utama, sedangkan aku dan Jeremi duduk di belakang mereka. Kalau mereka menoleh, otomatis Pak Hendra tahu dan pastinya nilai mereka dikurangi. Karena semboyan Pak Hendra yang paling sering diucapkan adalah, jangan sampai siswa-siswi yang dia ajar ketahuan menyontek, jika sampai hal itu terjadi, maka Pak Hendra akan mengosongkan nilai Matematika di rapot. Guru itu menjunjung tinggi nilai kejujuran, walaupun hasil ulangan nol, kalau murid itu jujur mengerjakan soal ujian sudah pasti Pak Hendra memberi poin plus.

"Enggak pa-pa, sih. Yang penting jujur," ucapku. "Eh, Jeremi sama Sukma ke mana? Kenapa enggak kelihatan dari tadi?" Aku tidak tahu ke mana mereka berdua. Saat Pak Hendra keluar dari kelas, aku sempat melihat Jeremi dan Sukma juga keluar. Tumben sekali mereka tidak pamit, tidak mungkin juga mereka ke kantin.

"Oh, katanya ambil titipan di pos satpam."

"Titipan apa, ya?"

"Enggak tahu." Jimmy beranjak. "Aku mau ke ruang osis, mau ikut?"

"Enggak deh, nunggu Jeremi dulu, entar aku nyusul."

"Oh, oke."

Jimmy berlalu, aku kembali membuka novel. Sebenarnya buku yang kubaca ini bukan novel, aku ralat, ya. Tapi kumpulan puisi karya Rupi Kaur yang baru hari ini kubaca setelah berminggu-minggu kubiarkan di dalam rak buku tanpa melepas plastik yang membungkusnya. Setelah selesai membaca Midnight Prince, aku beralih pada buku-buku bahasa asing untuk mempertajam kosa kataku, dan saat semalam aku tidak bisa tidur lagi, aku membuka pintu kamar, dan mencari buku yang kupesan secara online satu bulan yang lalu. Pilihanku jatuh pada judul Milk and Honey karya perempuan asal India itu.

I need someone who knows struggle as we as I do someone willing to hold my feet in their lap on days it too difficult to stand the type of person, who gives exactly what I need before I even know I need it, the type lover who hears me, even I do not speak it the type of understanding I demand. –Page 74 from Milk and Honey

Mataku mengerjap beberapa kali, menyadari bahwa otakku terlalu lelah untuk mengartikan halaman demi halaman yang kubaca. Suara petikan gitar dari headset putih milikku ikut mengiringi hati kecilku membaca bait indah karya Rupi Kaur. Aku hanyut dalam kata-kata indahnya, seakan aku menempatkan diri pada sajak-sajak indah yang dia punya. Merasa letih, aku menutup buku dan mengedarkan pandangan ke segala arah. Duduk sendiri berteman dengan suara teriakan dari murid kelas sebelah membuatku tahu rasanya diabaikan. Ini bukan keinginanku, pun berteman dengan Jeremi dan Sukma juga adalah kemauanku, aku hanya membatasi diri dari pergaulan hedon yang ada di kelas. Kalau dulu aku selalu bersama Mahesa, kini aku berkelana tanpa cinta.

BIANTARA [Terbit]Where stories live. Discover now