39 : Menemukan Berlian di Samudra Batu

779 67 31
                                    


●   39   

Menemukan Berlian di Samudra Batu


Aku duduk bersandar di sandaran kasur dan melipat lututku ke atas. Kuletakkan buku gambar di atas pangkuanku, mencari posisi senyaman mungkin.

Louis kuperhatikan sudah terbayang mau menggambar apa. Dari tadi tangannya sibuk bergeser sana sini.

Aku memutuskan untuk melukisnya pada posisi itu.

"Sejak dulu Mama Papa selalu sibuk kerja." Louis memulai dengan nada tenang. Aku membiarkannya bercerita.

"Pagi hari berangkat kerja, pulangnya malam. Kemana-mana aku diantar sopir. Tapi aku ingat setiap hari Minggu, mereka akan menyempatkan diri mengajakku ke taman bermain. Bagi anak seusiaku waktu itu, aku merasa itu saja tidak cukup. Apalagi begitu mendengar cerita teman-temanku tentang keluarga mereka."

Aku perlahan menggores garis luar rambutnya.

"Satu permintaanku waktu itu adalah aku mau punya adik. Aku tidak mengatakannya secara langsung, tapi aku yakin orangtuaku tahu."

Sambil mendengarkan aku memiringkan kepalaku, menyadari Louis tetap fokus pada kertas di hadapannya.

"Waktu umur 10 tahun, saudara Papa yang tinggal di Kalimantan pindah ke Surabaya. Punya anak perempuan yang usianya tiga tahun di bawahku. Mereka datang ke rumahku, aku dan anak itu cepat dekat. Seperti bertemu dengan adik kandungku, aku merasa sangat nyaman dengannya.

Sekitar dua minggu setelahnya, dia dititip ke rumahku karena mama dan papanya begitu sibuk bekerja. Aku senang bukan main. Setiap pulang sekolah kita akan bermain. Terkadang juga, hanya menonton TV atau bercerita ini itu. Waktu.. terasa begitu cepat berlalu."

Louis mengangkat sebentar hasil karyanya, memberiku kesempatan untuk melirik sedikit.

Dari jauh, terlihat bagus.

Merasa puas sepertinya, dia kembali melanjutkan sesi gambarnya.

"Saat dia duduk di kelas lima, dia tidak lagi tinggal bersamaku. Namun tiap beberapa hari sekali kita akan kumpul. Sama-sama anak tunggal mungkin menjadi alasan kenapa kita bisa nyaman satu sama lain. Aku bertemu dengannya lebih sering daripada orangtuaku sendiri."

Aku melihat dengan jelas seulas senyum yang muncul di bibirnya.

"Aku tidak bisa tidak sayang dia."

Aku merapatkan bibirku, menunggunya. Ada begitu banyak pertanyaan yang melingkar di kepalaku, tapi aku harus menahannya.

"Tahun berikutnya, saat aku duduk di kelas 2 SMP, aku pacaran sama satu cewek di kelasku. Namanya Sharren. Gara-gara itu, aku menghabiskan waktuku ke mal, nonton atau ke rumah Sharren.

Sesuatu terasa berubah. Aku jadi jarang menghubungi sepupuku. Aku rasa saat itu wajar-wajar saja, suatu saat juga aku akan dapat pacar atau memiliki kesibukan sendiri dan tidak bisa terlalu banyak bermain dengannya."

Louis sekarang berhenti menggambar. Matanya lurus ke tembok di hadapannya, seperti larut dalam bayang-bayangnya sendiri.

"Keadaan itu bertahan sekitar 4 bulan. Saat kita lagi libur akhir tahun, tiba-tiba Sharren minta putus. Saat itu aku benar-benar marah dan kesal sehingga aku sempat mogok makan dan sebagainya. Childish? Banget."

Dia mengedipkan mata berulang-ulang, seperti menahan air mata. Bibirnya sedikit bergetar. "Aku juga nggak jawab telepon dari siapapun. Termasuk dari sepupuku."

LOUISI ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang