4 : Ngeselin Pakai Tanda Seru

1.6K 239 178
                                    


●   4   

Ngeselin Pakai Tanda Seru


Tiga minggu di sekolah, Kamila, Cia, Michelle dan aku punya rutinitas sendiri. Setiap harinya kita akan berkumpul di taman sekolah sebelum bel mulai pelajaran, kemudian turun ke kantin setiap istirahat. Kita akan duduk di bangku paling pojok, dekat lapangan.

Kita berempat pergi kemana-mana bersama, mungkin karena pengaruh satu kelas juga, namun yang jelas saat bersama mereka aku merasa cocok dan senang. Aku rasa kita juga bergaul dengan baik, walaupun memiliki sifat dan hobi yang berbeda-beda.

Biasanya yang memulai pembicaraan itu Kamila. Ada saja sesuatu yang harus dibicarakannya. Tidak heran kalau Kamila dan Cia sudah berteman baik sejak SMP, karena saat Kamila berbicara, Cia selalu paham dan bisa membalasnya dengan baik. Bahkan keseringan, mereka jadi heboh sendiri.

Kalau Michelle, orangnya cenderung diam dan kalem. Kalau tidak ditanya dia tidak akan berbicara banyak. Saat di kelas pun, dia lebih tipe yang malu-malu.

Berbeda banget sama aku, yang malu-maluin. Itu sih menurut Kamila, katanya kalau aku berpendapat di kelas sedikit terlalu berlebihan. Kalau menurutku sih, berani berpendapat itu namanya percaya diri.

Kalau biasanya kita hanya duduk berempat, beberapa hari belakangan ini, Louis dan Johan sering bergabung.

Sekitar satu minggu yang lalu, Louis membawa teman basketnya dari kelas sebelah, Johan Dharma untuk dikenalkan ke kita. Anaknya lumayan tinggi, manis, dan jago banget basketnya. Kayaknya sih melebihi 'jago'nya sih Louis.

Ngomong-ngomong soal Louis. Waktu kejadian satu kelompok saat pelajaran kimia itu, aku menemukan fakta baru bahwa ternyata anaknya cukup asyik. Akibatnya kita jadi lebih sering berinteraksi sehat. Aku jadi tahu kalau dia itu jago kimia, tapi gagal di fisika. Kebalikan sama aku yang suka fisika, dan BENCI Kimia.

Bukan berarti aku bilang dia baik atau apa. Tetap ngeselin pakai tanda seru.

"Ren, udah kerja PR Mat?" Aku menoleh, melihat Cia yang sekarang berbalik badan menghadapku.

"Emang ada PR?!" sahut Kamila.

"Kebiasaan kan, makanya kalo guru ngomong tuh didengerin!" Aku mengeluarkan buku kuning dari dalam tasku dan memberikannya ke Cia.

Bukannya aku rajin atau sebagainya, tapi aku selalu merasa kalau tugas dan PR adalah hal yang wajar untuk dikerjakan. Kalau memang bisa mengerjakan, kenapa tidak? Lagi pula di rumah juga yang dikerjakan itu-itu saja.

"Aku ntar pinjem juga yaaaaaa..." Kamila menggandeng lenganku ngalem.

"Aku pinjem juga dong." Louis muncul dengan buku dan pulpennya.

"Nggak," jawabku singkat.

"Ya.. pilih-pilih kalo ngasik."

"Emang."

"Yaudah ntar pinjem Cia aja, ya Cia?"

"Siap," jawab Cia yang sedang sibuk menyontek bukuku.

"Nggak-nggak sini kembaliin kalo gitu." Aku setengah berdiri ingin merebut bukuku kembali.

"Loh-loh ya jangan toh." Cia menjauhkannya dari tanganku.

Dengan sigap, Louis segera mengambilnya dan lari keluar kelas. "Ntar kubalikin! THANKS!"

LOUISI ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang