[18] : Mendekat?

5K 255 3
                                    

"Jangan buat dia nangis. Setidaknya buat dia nangis karena bahagia, bukan karena terluka."

••Hope••

Erly berkali - kali melirik jam tangannya. Mengecek pukul berapa sekarang. Sudah lebih dari satu jam, ia menunggu angkot untuk pulang di halte dekat sekolah. Teman - temannya sudah pulang dari tadi. Hanya ia yang tersisa di halte sendirian.

Sialnya lagi Erly hari ini. Revan tidak bisa mengantarnya pulang karena ia harus latihan basket. Kemidian Azraf yang tiba - tiba harus rapat osis dadakan untuk acara sekolah yang akan dilakukan tiga hari lagi. Erly maklumlah pada kesibukan Azraf. Ia juga tak bisa terus - terusan merepotkan Azraf. Ia jadi tak enak hati pada pemuda itu.

Dan naasnya, ini sudah lebih dari pukul lima sore, namun tidak ada satupun angkot atau bis yang lewat. Bibirnya mencebik sebal. Harus berapa lama lagi ia menunggu. Erly tak mau kalau sampai ia pulang jalan kaki.

"Coba aja gue bisa naik motor. Pasti kalau gak ada orang yang jemput gini gue bisa pulang sendiri pake motor. Gak usah nungguin orang. Mana angkot gak lewat - lewat. Gak biasanya juga kaya gini. Mau pesen ojek online tapi gue gak ada kuota. Dasar." gerutu Erly sebal.

Erly menatap kearah langit. Terlihat awan mendung yang menghiasi langit sore hari ini. Sepertinya kota Jakarta hari ini akan disiram hujan.

"Ck! Mau hujan lagi! Bang Revan lama banget! Cuma latihan basket aja lamanya kaya nungguin ayam jantan bertelur! Adeknya ditelantarin lagi. Jahat!" oceh Erly.


Brummm


Terdengar seperti suara derum motor yang menuju Kearah Erly berada. Erly mengernyitkan dahinya saat motor hitam tersebut berhenti tepat di depannya. Matanya sukses melebar karena apa yang dilihatnya saat ini. Ia tak salah lagi.

Agam.

Iya. Agam. Bagaimana Erly lupa dengan motornya Agam? Kalau setiap hari pasti Erly melihatnya. Bahkan dulu ia sering membonceng di motor itu. Iya dulu. Jangan diingat - ingat lagi walau faktanya memang Erly tak akan bisa lupa.

"Naik!" perintah Agam mutlak setelah mencopot helmnya, namun tidak turun dari motor. Matanya menatap tajam Erly.

Erly berusaha bersikap acuh pada Agam. Ia malah memalingkan wajahnya. Mati - matian ia menahan napasnya yang tiba - tiba sesak. Hatinya berdenyut sakit melihat tatapan Agam yang terlalu menusuk.

"Ya udah kalau gak mau. Bentar lagi hujan. Gue gak mau tanggung jawab kalah lo sakit. Revan kayanya udah pulang dari tadi. Lo di tinggal sama dia." ucap Agam sambil memakai helmnya kembali.

Mendengar ucapan Agam, membuat Erly berpikir dua kali. Tunggu, Revan pulang duluan? Bagaimana bisa. Sedangkan dari tadi ia ada di sini. Atau Revan mengambil jalan lain? "Jadi Revan udah pulang dari tadi? Kenapa gak bilang gue? Kalau tau gitu, gue gak mau nunggu angkot selama ini. Kurang ajar!" kata Erly sebal.

Agam hanya mengangkat bahunya acuh. "Naik gak? Kalau gak ya udah—"

"Iya gue naik! Daripada gue pulang jalan kaki. Ogah banget. Kasihan kaki mulus gue kalau harus kapalan." Erly langsung menaiki boncengan motor Agam. Dan tanpa Erly sadari, Agam menyunggingkan senyumnya. Erly tak tau karena senyum Agam hanya tipis. Sangat tipis.

"Ayo buruan jalan!" kata Erly.

Agam menoleh kebelakang. "Tangan lo mana?" tanya Agam.

Erly dengan wajah polosnya, mengulurkan tangannya. Dengan segera, Agam langsung mengambil tangan Erly, dan melingkarkannya pada perutnya.

Unstable✔Where stories live. Discover now