27

1.3K 272 81
                                    

"Buku apa yang kau cari?"

Butuh waktu beberapa saat hingga Stardust benar-benar menoleh padaku sambil mengusap-usap tengkuknya yang kaku akibat terlalu lama mendongak demi mencari buku di rak bagian atas. Wajahnya pucat karna terlalu lama mendongakkan kepala.

"Oscar Wilde." jawabnya dengan nada datar bercampur putus asa. Ditariknya dengan asal tali dari tas glasir miliknya yang sudah merosot sampai ke ujung pundak. Stardust lalu kembali sibuk mencari sambil bergumam. Ia membaca judul-judul buku dan pengarangnya dengan suara tidak jelas yang terdengar seperti dengungan. Kakinya terus digerak-gerakan karena pegal.

Aku menungguinya beberapa saat sambil menyenderkan punggungku pada sudut dinding kosong, terhimpit rak-rak kayu setinggi pintu sekolah sambil memandangi ujung sepatuku. Aku berusaha terlihat sebosan sekaligus sesabar mungkin demi membuatnya sadar bahwa aku tidak ingin berlama-lama di tempat ini, namun usahaku berakhir nihil. Stardust masih sibuk mencari buku.

Aku akhirnya berjalan meninggalkannya sambil melihat-lihat beberapa buku dengan tebal seragam disejajarkan dalam satu baris rak yang sama. Buku-buku bacaan berat seperti Filsafat Hukum dan Sejarah Code Penal diletakkan pada rak bagian bawah, lengkap dengan debu yang menempel pada setiap sudut buku-buku tersebut. Ada satu wajah yang kukenal pada cover buku tersebut, Socrates. Ada sebuah tulisan besar di dinding belakang kasir yang berbunyi "Lex dura, sed tamen scripta" yang tidak kuketahui apa artinya.

Aku akhirnya kembali menghampiri Stardust di tempat sebelumnya. Matanya menangkapku yang sedang berdiri sambil menumpu dagu pada kantong belanjaan yang ada dalam dekapanku. Tidak lama setelahnya, kedua bahunya turun dengan gontai. Ia menghela napasnya panjang sambil memandang kosong ke rak buku di belakangnya.

"Tidak ada?" tanyaku retoris.

Ia mengangguk lesu.

"Ayo pergi." jawabnya sambil berjalan mendahuluiku.

***

Stardust tampil rapih hari ini. Rambutnya dikepang satu dan dandanannya khas musim semi. Parfum yang digunakannya masih sama seperti pertemuan pertama kami. Semacam bau apel, berry manis, dan sedikit mint yang membuat tenggorokan cepat terasa kering. Ia menjinjing sebuah tas sewarna wine merah yang terlihat bagus dan mahal, tas yang menjadi fokus perhatianku sedari kami berada di toko buku.

Sekitar dua hari yang lalu, Stardust mengirimiku pesan singkat dan mengajakku untuk bertemu dengannya di akhir pekan. Aku langsung menyetujuinya tanpa berpikir panjang. Yang kupikirkan saat itu hanyalah pemikiran-pemikiran konyol mengenai pakaian apa yang akan kukenakan di akhir pekan ini.

Kami banyak bicara dalam pertemuan kali ini. Tentang Boni, Chanyeol, Junmyeon, Guardian, dan kucing-kucing liar di sekitar rumahku. Kadang aku bercerita padanya mengenai kemiripan antara sosok Guardian dan Junmyeon yang kukenal dan kadang aku bercerita tentang betapa mustahilnya kemungkinan itu terjadi. Sedangkan Stardust, ia terus meladeniku dengan sabar.

Hingga pada suatu titik dimana kami berdua mulai kehilangan topik pembicaraan masing-masing dan situasinya berubah canggung, Stardust dengan senyum secerah musim panas berkata dengan lembut kepadaku bahwa wanita yang disayanginya memintanya untuk bertemu lagi setelah bertahun-tahun lamanya.

"Ternyata dia masih mengingatku." Stardust tertawa. Ekspresinya berubah lebih lembut.

Saat itu aku tahu bahwa tidak ada yang salah dalam mencintai.

Karena cinta adalah bentuk perasaan paling universal yang dapat datang kapan pun, tanpa disadari.

Cinta dapat jatuh dalam bentuk apa pun, tanpa memihak kodrat.

Dan dapat juga jatuh kepada siapa pun, tanpa memilih.

***

Kami berdua berjalan menuju apartemen tempat tinggal Stardust yang berjarak 20 menit dari pusat kota. Ia berencana untuk mengajakku makan malam di rumahnya dan mengenalkan Potato, anjing kecil miliknya yang masih berusia 5 bulan kepadaku.

Awalnya aku merasa ragu, namun saat mengetahui apartemen tempat tinggalnya berada tidak jauh dari rumah sepupuku, aku akhirnya menyetujuinya. Aku menelpon rumah dan mengatakan akan menginap di rumah Hyuna-kakak sepupuku-malam ini setelah menghabiskan waktu makan malam di tempat Stardust.

Apartemen Stardust berada di lantai 4. Bangunan apartemennya terlihat tua, tapi terawat. Beberapa tumbuhan jalar menghiasi tembok pagar yang mengelilingi gedung tempat tinggalnya. Kakek yang bekerja sebagai penjaga gedung juga terlihat begitu ramah kepada Stardust. Stardust berhenti sejenak menghampiri kakek itu dan memberikan satu kantung penuh berisi persik supermarket yang dibelinya dalam perjalanan pulang tadi kepadanya.

Kami menuju ke lantai 4 dengan menggunakan tangga karena lift gedung sedang dalam perbaikan. Aku terus berjalan mengekor di belakang Stardust sampai dengan tiba-tiba, ia menghentikan langkahnya.

Aku mencondongkan tubuhku dari balik punggungnya untuk melihat dengan jelas apa yang membuat langkahnya terhenti dengan tiba-tiba.

Di depan kamar bernomor 68, terduduk seorang wanita paruh baya dengan wajah pucat pasi karena kedinginan. Wanita itu menoleh ke arah Stardust yang berdiri mematung. Mata wanita itu berkilat-kilat, lalu seperti hendak menangis, ia berkata dengan suara parau,

".. Sunbin?"

Stardust, napasnya memburu. Ia membalikkan badannya cepat-cepat, menarik tanganku dan membawaku keluar gedung tempat tinggalnya. Ia merogoh isi tasnya dengan gegabah sampai-sampai beberapa keping koin dan sebuah lipstick merah terjatuh ke tanah.

Ia menaruh selembar uang 10.000 won di atas telapak tanganku dan memaksaku untuk menggenggamnya erat-erat. Aku mendongak padanya karena bingung.

Aku terperanjat karena kini ia menangis.

"Pulanglah. Belilah beberapa makanan ringan untuk Boni dan anak laki-laki di sebelah rumahmu." ia kemudian berjalan menjauh, kembali masuk menuju gedung tempat tinggalnya.

Aku menatap punggungnya lama. Tubuhnya gemetar.

"Stardust?" panggilku.

"Kau baik-baik saja, kan?"

Langkahnya terhenti. Stardust menoleh sambil menganggukan kepalanya. Seulas senyum menghiasi wajahnya.

Aku melihat senyum bahagia sekaligus paling menyedihkan milik Stardust di hari itu.

***

Arang hitam

Anjing peliharaan tetanggaku masuk ke pekarangan kami dan memakan beberapa tanaman hias milik eomma.

Sekarang langkah kakinya sehitam arang karena menginjak tanah. Dan arang hitam itu memenuhi jalan setapak antara rumahku dan anak itu.

Comment:  -

***
Tbc

64 KilogramsWhere stories live. Discover now