07

3K 536 110
                                    

"Punya pensil?"

Aku mendongak dan menatap anak laki-laki yang berdiri di samping mejaku.

Ia tersenyum seringan awan dan cahaya matahari yang menembus dari jendela di belakangnya membuat helai-helai rambutnya terlihat begitu kentara. Yang dilakukannya hanya berdiri sambil tersenyum, tapi efeknya terasa begitu dramatis bagiku.

Perasaan malu yang campur aduk kemudian datang tanpa permisi. Aku segera menundukkan kepalaku, menyembunyikan rona merah pada wajahku.

Aku meraih tempat pensilku dan dengan buru-buru mencari pensil mekanik yang kusimpan di dalamnya.

Pensilku satu-satunya. Yang warnanya merah muda.

Aku menyerahkannya dengan kikuk dan dengan cepat menarik kembali tanganku sebelum permukaan kulit kami bersentuhan.

"Terimakasih, Park Bona." suaranya halus dan tenang.

Aku mengangguk cepat bersamaan dengan jantungku yang juga berdetak amat keras.

Dia tahu namaku.

Kutundukkan kepalaku, kusematkan helaian rambutku ke belakang telinga. Berharap gestur kecil yang kulakukan dapat meninggalkan impresi tentangku terhadapnya.

"Akan kukembalikan nanti." lagi-lagi ia bicara sedangkan aku hanya membalasnya dengan tatapan malu-malu.

Ia kemudian berjalan menjauh. Ujung kemejanya yang tidak dimasukkan dengan rapih ke dalam celana terlihat seperti ekor bebek.

Sepulang sekolah, aku segera mencari Park Chanyeol untuk mengajaknya pulang bersamaku. Perasaanku begitu baik hari ini jadi kupikir aku butuh seseorang untuk menampung semua cerita tentang apa yang kualami hari ini.

Aku bercerita panjang lebar padanya. Kuceritakan semuanya, bahkan indahnya senyum anak itu kudeskripsikan lewat kata. Kugerakan tanganku sambil bercerita, sambil sesekali meneguk minuman dari kaleng soda ditangan kiriku. Sedangkan Chanyeol hanya mengangguk-anggukan kepalanya setiap kali aku menyelesaikan kalimatku.

"Padahal Yuri duduk di depannya, tapi dia meminjam pensilku." aku menyeringai.

Chanyeol kembali mengangguk tanpa menjawab.

Kupikir ia tidak tertarik pada romansa semacam ini.

Kami berdua sampai di rumah masing-masing dan Chanyeol menutup begitu saja pintu rumahnya tanpa bicara sepatah kata pun padaku.

Saat tiba di rumah, aku baru menyadari keberadaan name-tag yang terpasang rapih pada seragam sekolah yang kukenakan.

***

"Antarkan ini ke rumah anak itu." ujar ibuku sambil menyerahkan semangkuk besar berisi sup yang baru saja ia masak.

Aku menghampiri ibuku dengan malas lalu mulai menatapnya sebal.

"Hati-hati. Masih panas." ia memperingati.

"Kau tidak pernah menyuruh Boni melakukan hal semacam ini." keluhku sambil mengambil alih mangkuk dengan hati-hati.

"Dia sibuk dengan tugas dan klub softball. Hanya kau yang setiap harinya pulang lebih awal." ibuku menjawab tanpa menatapku. Ia sibuk membereskan peralatan memasak yang baru saja selesai ia gunakan.

Aku menghela napas lalu pergi menuju rumah Chanyeol yang berada persis di sebelah rumah kami.

Aku masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu pintu rumahnya, etika bertamu yang sudah biasa kulanggar akibat kebiasaan Park Chanyeol yang selalu lupa mengunci pintu depan.

64 KilogramsUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum