17

1.4K 335 135
                                    

Hari Jumat, bunga kuning kecil dalam vas tertidur layu. Vas bunga tersebut diletakkan di atas meja guru dan tak seorang anak pun dari kelas kami yang berniat mengganti air dalam vas tersebut. Semua berpikir bunga itu pasti mati hari ini.

Irene masuk ke kelas dengan rambut hitamnya yang baru. Sambil membawa tasnya yang hampir kosong, ia memegang setangkup roti lapis dengan rebusan telur yang dihancurkan. Tepi mulutnya terkena saus dan ia mengelapnya dengan punggung tangannya.

Aku memperhatikan keadaan kelas lalu dengan ragu mengeluarkan sebungkus cookies dengan hiasan pita bewarna hijau dari dalam tasku

Beberapa kepingnya hancur. Hari ini aku berniat memberikan cookies buatanku kepada Junmyeon, tepat satu minggu sebelum natal tiba. Aku terdiam beberapa saat lalu melirik Junmyeon yang sedang duduk di belakangku.

Ia sedang memainkan ponselnya.

Aku membalikkan badanku. Aku menghela napasku berulang kali. Mungkin sebaiknya kuberikan saja seluruhnya kepada Chanyeol, atau Boni, atau mungkin ayahku. Kurasa Irene juga akan senang hati menerima cookies pemberianku.

Aku berpikir cukup lama, mempertimbangkan persoalan sederhana dengan perasaan gundah bercampur gugup. Aku menggerak-gerakkan kakiku karena gelisah. Aku meliriknya lagi sekilas.

Berikan atau tidak? Berikan atau..

"Apa itu?" Junmyeon mendongakkan kepalanya sambil bangkit dari kursinya. Aku reflek menyembunyikan cookies tersebut ke dalam tasku. Wajahku panik dan pasti sudah memerah saat ini.

"Apa itu?" ulang Junmyeon lagi penasaran. Aku menoleh ke arahnya dengan gugup.

"Ah, cookies. Kau mau?" tanyaku terbata-bata.

"Kau membuatnya sendiri?" ia bertanya. Pertanyaannya diselingi senyuman.

Aku mengangguk cepat.

"Aku mau. Simpan itu untuk jam istirahat nanti." jawab Junmyeon, masih dengan senyum terbaiknya.

Aku membalas senyumannya.

Jackpot!

***

"Waktu kecil aku pernah melihat hantu." ujar Junmyeon tiba-tiba.

"Sungguh? Seperti apa rupanya?"

Junmyeon menerawang.

"Aku tidak ingat betul karena rambutnya sangat panjang hingga menutupi wajahnya. Dia berdiri di pojok dapur sekitar pukul tiga pagi. Aku memanggil ayahku saat itu juga, namun begitu sadar ayahku masih berada di Busan, aku memutuskan untuk diam dan pura-pura tidak melihatnya."

"Itu menyeramkan." ujarku lirih.

"Memang. Sejak saat itu aku enggan turun ke lantai bawah setelah lewat tengah malam."

"Ngomong-ngomong, cookies-nya enak."

Aku melirik ke arah Junmyeon. Ia mengunyah cookies-nya sambil melamun. Matanya menatap tulisan-tulisan di papan tulis. Tangannya menggenggam sebuah pensil, memutarnya berulang kali.

Dia lalu kembali membuka suara, bercerita soal kakak perempuannya yang paling tua.

Aku suka setiap kali dia bicara soal kakak perempuannya. Dia bilang kakaknya mengajaknya pergi ke pusat kota kemarin lusa, dia bilang kakaknya membeli dua summer dress bewarna terang. Yang satunya bewarna kuning dan yang lainnya bewarna biru langit dengan bordiran bunga di sisi lengan. Ibu mereka menelepon ditengah waktu berbelanja sehingga mereka harus pulang sebelum menemukan kado untuk pacar kakak perempuannya.Dia menjelaskan kakaknya mencari kado untuk memperingati hari jadi dengan pacarnya dan meramalkan kakaknya akan putus dua bulan lagi.

64 KilogramsWhere stories live. Discover now