35

782 211 124
                                    

Aku tidak pernah membayangkan bagaimana rasanya berlari dalam gaun terbaikku.

Namun sekarang aku tahu.

Dan rasanya seperti sedang berada dalam scene sebuah adegan klise. Yang kubutuhkan saat ini mungkin hanyalah siraman hujan dan lampu jalan yang berpendar demi membuatnya terlihat lebih dramatis.

Aku menjinjing sepasang heels hitam mengkilap milikku, bertelanjang kaki. Dinginnya trotoar membuat kedua kakiku terasa membeku.

Namun rasa beku di ujung jemari kaki tidak membuatku memperlambat langkahku. Aku sepenuhnya mati rasa, mungkin. Jantungku berdebar hebat tak karuan dan suara-suara dalam kepalaku terus meneriakiku untuk berlari lebih cepat lagi.

Perasaan seperti saat kau pergi jauh dan baru ingat bahwa kau lupa mengunci pintu depan rumahmu ketika sudah berada di tengah jalan adalah gambaran mengenai bagaimana perasaanku saat ini.

Aku mengutuk Park Chanyeol karena sudah membuatku merasa begini, aku membencinya karena dia membuatku khawatir!

Khawatir setengah mati.

Aku akhirnya tiba di depan rumahnya, mendorong pagar tuanya yang hampir tidak pernah terkunci. Aku memutar kenop pintu depan rumahnya dan mengernyit keheranan begitu mendapati pintu rumah itu terkunci rapat. Mendadak, suasananya berubah menakutkan.

"Chan?" panggilku. Kuketuk pintu rumahnya berkali-kali sambil mencoba untuk menghubungi ponselnya.

Nada sambung terdengar dan tidak sampai dua detik setelahnya, suaranya terdengar.

Aku terperanjat, bukan karena suaranya yang tiba-tiba terdengar begitu jelas, melainkan karena anak laki-laki tersebut sudah berdiri di depan pagar rumahnya sendiri.

Masih dengan ponsel yang menempel di telinga kirinya.

Ia tersenyum.

Namun untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa Park Chanyeol telah membohongiku.

Karena dari tatapannya, aku tahu ia sedang pura-pura tersenyum saat ini.

***

"Kau tidak datang." ujarku lirih. Ada sedikit amarah dalam nada bicaraku, namun berusaha kusembunyikan sebaik mungkin.

Park Chanyeol masih berdiri di tempat yang sama, terhalang pagar yang tidak lebih tinggi dari pinggangnya. Hoodie hitam kebesaran dan rambutnya yang sedikit berantakan membuatnya terkesan begitu sederhana malam ini, malam dimana orang-orang lainnya berpenampilan begitu mewah dan menawan dalam pesta perpisahan.

Dia mengangguk sambil masih terus mempertahankan senyumnya.

Aku menghampirinya, mendekatkan wajahku padanya dengan penuh raut khawatir.

"Kau baik-baik saja, kan?" aku menatapnya sambil bicara dengan nada merajuk yang aku tahu paling ia sukai dariku.

Ia terdiam beberapa saat sambil balas menatapku. Ada sesuatu yang tidak dapat kumengerti dari caranya menatapku saat ini.

"Aku merindukanmu. Juga Boni." Chanyeol menjawab dengan berbisik. Mendengarnya bicara begitu membuatku merasa sedih.

Aku menghela napasku.

"Kami sibuk belakangan ini, kau tahu kan semuanya mempersiapkan pesta perpisahan demi malam ini?" aku bicara padanya selembut mungkin.

Dari beberapa anak yang tidak ikut andil dalam persiapan pesta perpisahan untuk malam ini, Park Chanyeol memang salah satunya.

Namun ia juga merupakan satu-satunya orang yang tidak hadir malam ini. Dan hal itu membuatku khawatir —sekaligus merasa bersalah karena seakan-akan telah melupakannya selama beberapa waktu terakhir.

64 KilogramsWhere stories live. Discover now