28 (Daddy Special Chapter)

1K 229 54
                                    

Chanyeol's dad POV

Ini cerita bertahun-tahun yang lalu, cerita lama.

Kereta penuh sesak saat itu, tidak seperti biasa. Hal yang tidak mengherankan menjelang natal. Aku menghentakkan lengan sebelah kiri yang terasa pegal lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. Sekarang pukul setengah 7 malam.

Kugerak-gerakan kakiku dengan gelisah, takut-takut sampai di rumah terlalu larut. Kereta berhenti dan pintu terbuka secara otomatis, membuat lautan orang di dalamnya menghambur keluar. Dan sekali lagi karena efek malam natal, semua orang bertindak lebih gesit dan keluar dengan terburu-buru. Beberapa orang bahkan menabrak punggungku saking tergesa-gesanya.

Langkah kaki yang kuupayakan bergerak secepat mungkin sedari turun di stasiun kini berangsur-angsur melambat. Melihat sebuah restoran kecil di ujung jalan membuatku berpikir apa mungkin anak itu sudah membeli makan malam dari uang yang kuberikan tadi pagi, tepat sebelum ia berangkat ke sekolah.

Aku akhirnya berjalan masuk ke dalam restoran dan membungkus pulang makan malam untuk kami berdua.

Sekitar 15 menit setelahnya, aku tiba di rumah dengan keadaan pintu depan yang tidak terkunci.

"Chanyeol, kau lupa mengunci pintunya lagi." ujarku setengah berteriak. Tak lama, suara langkah kaki anak itu menggebu-gebu mengisi sunyi. Dengan kedua tangan terbentang, ia menahanku dengan wajah panik.

"Jangan masuk, jangan. Tunggulah sebentar di sini." ia bicara cepat dengan wajah khawatir.

Aku mengangkat alisku, bingung melihat kelakuannya. Bukan naluri seorang ayah untuk mendengarkan penjelasan anak laki-lakinya tanpa terlebih dahulu melihat apa yang sebenarnya terjadi. Maka tanpa menghiraukannya, aku berjalan masuk ke dalam ruang tengah dan mendapati sebuah pohon natal setinggi 2 meter sudah dalam keadaan ambruk.

Benar-benar kacau dalam arti yang sebenarnya.

Semua pernak-pernik natal berserakan di lantai. Sebagian pecah menjadi keping-keping tak berwujud.

Chanyeol menghampiri dan berdiri di sebelahku. Ia mendongak, menatapku lama dengan tatapan penuh rasa bersalah, lalu akhirnya menyeringai.

"Rasanya susah sekali punya anak laki-laki yang terus menyeringai sambil menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya. Bagaimana tidak? Aku jadi tidak bisa memarahinya!"

Ucapan istriku menggema begitu saja saat melihat Chanyeol saat ini.

Aku duduk di atas lututku, memegangi kedua pundak anak itu sambil menatapnya. Wajahnya mulai terlihat takut, mungkin khawatir aku memarahinya.

Aku menghela napas panjang. Aku kemudian tertawa selepas mungkin dan wajah Chanyeol berubah bingung. Saat tawaku mereda, rasanya semua perasaan menyesakkan yang kurasakan sejak berada dalam kereta mulai terasa membaik.

Baiklah, ini moment natal. Jika mau memikirkan kehilangan, pikirkan saja lain hari.

"Ayo bantu aku menyiapkan makan malam. Aku akan membantumu menyusun kembali pohon natalmu setelah makan." ujarku sambil mengacak-acak rambutnya. Tinggi anak itu masih tidak lebih dari 3/4 pohon natal saat itu.

Kami lalu pergi menuju ruang makan. Aku duduk terlebih dahulu sedangkan Chanyeol dengan segera menyiapkan makan malam yang kubeli saat perjalanan pulang di dapur.

Aku memejamkan mataku sambil menyenderkan tubuhku sepenuhnya pada senderan kursi meja makan.

"Chanyeol, kau bisa menyiapkannya langsung di meja makan." aku menoleh ke belakang. Anak itu berdiri membelakangiku. Ada yang aneh.

Punggung anak itu bergetar.

Aku bangkit dan menghampirinya. Apalagi sekarang? Ia menangis.

"Kenapa?" tanyaku lembut.

Butuh beberapa saat bagiku untuk menemukan jawabannya.

Di atas meja dapur terdapat 3 porsi piring makanan yang memang ditujukan untuk 3 orang. Aku yang tanpa sadar membelinya.

Lututku terasa lemas dan begitu sadar, aku sudah menangis. Chanyeol juga.

"Andai ibu di sini. Aku tidak akan menghancurkan pohon natal dan kita tidak perlu memusingkan porsi makanan berlebih yang kau beli saat ini. Dia akan mengangkatku agar aku dapat menaruh bintang di puncak pohon natal dan dia dapat ikut menghabiskan makan malam yang kau beli." ujar Chanyeol sambil menangis. Wajahnya memerah.

"Dia di sini." aku berlutut, lalu memeluknya erat-erat

Malam natal pertama kami yang dilewatkan tanpanya. Istri sekaligus ibu dari anak ini.

Di saat orang-orang berjalan keluar dengan pakaian terbaik mereka, merayakan malam natal dengan meriah di rumahnya masing-masing, dan berkumpul dengan keluarga besar di bawah pohon natal, aku dan anak ini justru menangis di dapur.

Seakan-akan kami lupa bahwa ada seorang yang sesungguhnya telah hilang dari kami.

Malam itu, kami menghabiskan makan malam berdua dan terus-menerus bicara pada kursi kosong di hadapan Chanyeol.

Bertingkah seolah-olah wanita itu masih ada di sana, tertawa, dan mendengarkan kami dengan seksama.
***

"Kau sudah menghubunginya?" suara Yerim membuyarkan lamunanku.

Aku menoleh dengan malas dan mengamati Yerim yang sedang sibuk di dapur. Wanita itu dengan telaten mengiris sayuran, menuangkan pasta, dan mengecek oven dengan seksama.

"Dia anak yang keras." jawabku seadanya.

Suara pisau dan talenan yang sedari tadi terdengar berirama mendadak berhenti terdengar.

Yerim memandangiku tajam.

"Kau juga sama sepertinya." jawabnya lantang.

Aku tertegun, lalu berpura-pura fokus membaca koran pagi.

"Kalau begitu, aku yang akan menghampirinya sore ini." ucap Yerim dengan percaya diri. Ada kesan kuat setiap kali wanita itu bicara. Aku kembali menoleh padanya dengan tatapan remeh.

"Kau hanya akan menyakitinya jika muncul dengan tiba-tiba di hadapannya seperti dulu." ujarku sarkas.

"Dia sudah menolakmu sedari dulu. Semuanya tidak akan semudah yang kau pikirkan, Yerim." imbuhku lagi.

Yerim menatap lurus ke arahku dengan wajah tegas. Aku tahu wanita itu sedang bersiap-siap untuk marah, maka aku segera bangkit dari kursiku dan berjalan menjauhinya.

"Anak itu akan lebih merasa disakiti jika kita terus membiarkannya seperti itu." ujar Yerim. Aku sedikit terkejut saat mendapati air mata sudah membasahi

"Aku akan datang padanya. Aku akan mencoba untuk datang dan tinggal bersamanya." suara Yerim terdengar seperti kecaman bagiku.

Yerim meninggalkan dapur, meninggalkan masakannya yang masih setengah matang dan membanting pintu kamar dengan keras.

***

Anak itu hanya menerima ibunya, Yerim. Kau tidak akan mengerti.”

TBC

64 KilogramsOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz