15

1.8K 381 47
                                    

Kita dua jiwa yang lahir bersama dan kompak menua dimakan waktu.

Tapi berlari mengejarmu rasanya kini sama seperti memanjat langit.

Tak terjangkau.

***

"Bona?"

Seseorang dengan perawakan mungil menghampiri kami. Ia berdiri mematung di hadapanku dengan wajah panik. Ia lalu segera berjongkok dan menatapku khawatir.

Orang itu Boni.

"Bona, apa yang terjadi?" dia bertanya dengan wajah kaget.

Aku masih menangis. Perasaan yang campur aduk berkecamuk dalam dadaku.

Lega, malu, takut.

Boni mengeluarkan sapu tangan biru dari saku roknya lalu menempelkannya dengan hati-hati pada daguku yang terluka.

"Astaga. Tahan sebentar, aku akan mengambilkan plester luka." Boni terus-menerus meringis memperhatikan lukaku.

Sungkyung mengernyitkan keningnya begitu melihat Boni, temannya yang sedari tadi diam mulai terlihat resah. Boni mendongak dan memperhatikan mereka berdua dengan wajah datar.

Sungkyung terdiam. Atmosfernya berubah semakin tidak mengenakan.Ia kini balik menatap Boni dengan tatapan menantang, namun temannya yang berdiri di sampingnya segera menyikut sikunya.

Mereka kemudian pergi.

Bell kelas berbunyi nyaring, menandakan waktu istirahat sudah berakhir. Boni mendecak sebal setelahnya. Akhirnya Boni seorang diri yang membantuku berdiri, membersihkan bercak darah yang terdapat di lantai, lalu mencuci sapu tangannya di wastafel.

"Mereka temanmu?" tanyanya.

Aku mengangkat kedua bahuku tanpa melihat ke arah Boni. Aku terus menundukkan kepalaku, menatap ke bawah.

Boni lalu menatapku lama.

"Aku terjatuh karena menabraknya. Aku yang salah." ujarku lirih. Boni menghela napasnya panjang.

"Ayo ikut aku, kita obati lukamu."

***

Ruang kesehatan kosong. Kaca jendela yang terbuka membiarkan cahaya matahari masuk dengan bebasnya memenuhi ruangan dan tirai putih besar di jendela bergelombang tertiup angin.

Aku duduk di sisi ranjang sambil mendongakkan kepalaku, membiarkan Boni membersihkan dan mengobati lukaku. Beberapa kali aku meringis sakit sambil meremas kuat-kuat ujung kemeja yang kukenakan.

"Sebentar lagi, sebentar lagi.." Boni bicara lembut. Ia bicara sambil meniup daguku yang terluka.

Setelahnya Boni membereskan alkohol dan obat antiseptik yang ia ambil dari lemari. Ia lalu menghampiriku, naik ke atas ranjang dan membaringkan tubuhnya. Ia menghela napas kasar lalu menutup matanya dengan punggung tangannya.

"Boni, kau tidur?" tanyaku.

Ia tidak menjawab.

Aku akhirnya memutuskan untuk berbaring di sampingnya. Kupejamkan juga mataku. Rasanya nyaman.

Angin yang berhembus melalui jendela menerpa wajahku.

"Hei, Bona." Boni memanggilku. Matanya masih terpejam.

"Ya?"

"Masih sakit?"

Aku diam beberapa saat.

"Menurutmu?"

"Aku bahkan sempat mengira luka ini sebegitu parahnya hingga perlu dijahit saat melihat begitu banyaknya darah menggenang di lantai." aku bicara lagi.

64 KilogramsWhere stories live. Discover now