25

1.3K 290 71
                                    

Apakah kalian tahu namaku?

Suasana kelas di pagi hari selalu berisik.

Selalu kudengar pembicaraan mengenai acara-acara TV kemarin malam, artis-artis barat, dan buku matematika. Ini pagi kedua masa SMA. Anak-anak perempuan berlalu-lalang, melewati mejaku begitu saja-dan itu terjadi berulang kali.

Apa kalian akan menangis jika aku mati?

Irene-anak perempuan dengan dandanan mencolok dan suara tinggi lantang-tidak terlihat pagi ini. Dan entah apa yang membuat satu hari kemarin terasa begitu cukup bagi anak-anak gadis di kelas untuk menilai bagaimana Irene yang sebenarnya, karena sekarang setengah dari murid perempuan membicarakannya dengan heboh. Mina yang kemarin hari sangat gencar mendekati Irene bahkan ikut membicarakannya.

Anak laki-laki bernama Jongdae yang kemarin membuat onar di hari pertama sekolah-memecahkan vas bunga, bermain bola di dalam kelas, dan menggoda anak kelas lain melalui jendela kelas pada saat pelajaran berlangsung-bicara dengan sangat keras.

Hyori yang pendiam masuk ke dalam kelas dengan potongan rambut pendeknya yang baru. Anak-anak gadis berlari menghampirinya. Beberapa memuji dan sisanya menyayangkan rambut lurus panjangnya yang kemarin masih ada. Anak-anak perempuan lalu mulai membicarakan soal shampoo dan perawatan rambut favorit mereka.

Satu anak perempuan yang aku lupa siapa namanya bilang bahwa ia melakukan perawatan rambut di Sirius —salon mahal di pusat kota— seminggu sekali dan pernyataannya tersebut disambut oleh tatapan sinis Soojung yang kelihatannya tidak mempercayai perkataannya barusan.

Apa 5, 7, atau mungkin 10 tahun lagi, kalian akan mengingat wajahku?

Aku memandangi seisi kelas, berharap seseorang datang dan bertanya siapa namaku.

Mirae yang berkenalan denganku kemarin hari kini sedang mengobrol dengan gadis di sebelah mejanya. Aku enggan menyapanya begitu melihatnya memalingkan wajahnya dariku saat aku tiba di kelas pagi ini.

Apa kalian akan mengingat tempat di mana aku selalu duduk sendirian?

Aku menumpu daguku dengan kedua telapak tangan, menatap coretan-coretan kasar di atas meja kelas. Aku tidak sadar bahwa yang kurasakan saat itu adalah rasa kesepian.

Rasanya seperti sedang tenggelam dan aku berteriak amat keras, namun tidak ada seorang pun yang mendengar. Analogikan kelas dengan samudra dalam tak berdasar, maka kau akan sepenuhnya paham rasanya sepi.

Aku hanya menyimak segala hal yang telah terjadi di dalam kelas tanpa pernah bersuara dan aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk berada di dalamnya. Bagi mereka, aku tidak terlihat. Aku benar-benar tenggelam.

Hanya ada dua cara untuk dapat terlihat. Pertama adalah menjadi cantik seperti Yuri. Lalu yang kedua adalah dengan bertingkah sembrono sekaligus lugu seperti Irene. Setidaknya, gadis seperti Irene menarik perhatian anak-anak lelaki-walau dibenci anak-anak perempuan.

Sayangnya, aku bukan keduanya.

Apa kalian akan ingat bahwa aku pernah ada?

Dalam tawa yang menggema dalam kelas, seseorang berdiri di depan mejaku. Spontan, aku mendapat jabat tangan pertamaku di SMA.

Ribuan kupu-kupu mendadak berterbangan dalam perutku. Kepak-kepak sayapnya kontras dengan helaian rambut yang menutupi dahinya. Kesepian yang melingkupiku pagi ini sirna seketika, terombang-ambing dalam keterpukauan sesaat. Ada perasaan menggelitik yang begitu kuat sekaligus mendebarkan saat menatap matanya.

Hembusan angin melembut dan pergerakan di dalam kelas terasa melambat.

Kim Junmyeon, murid dalam absen yang tidak hadir kemarin hari kini mengulurkan tangannya padaku sambil tersenyum. Ia mengucapkan namanya sebanyak dua kali untuk memperkenalkan diri.

Langit tetap biru dan rumput di lapangan masih hijau warnanya.

Namun sejak saat itu, kelas tidak terasa begitu buruk bagiku.

***

Keesokan paginya aku terbangun dengan mata sembab. Pikiran kacau yang membebankan kemarin malam terasa sedikit membaik pagi ini.

Efek pagi selalu membuat perasaan membaik.

Aku turun dari kasur dan membereskan selimut dengan asal lalu mendongak untuk memastikan keberadaan Boni, namun ia tidak berada di sana. Suara peralatan dapur dari arah ruang makan membuatku yakin bahwa ia sedang menyiapkan sarapan.

Aku akhirnya berjalan menuju ruang makan dengan kepala tertunduk. Tidak ada percakapan pagi hari seperti biasa.

Yang terdengar hanya desis daging dan telur mata sapi setengah matang yang sedang dimasak di atas penggorengan.
Boni memundurkan tubuhnya dengan kikuk, takut-takut minyak panas mengenai permukaan kulit tangannya.

Selesai memasak, Boni meletakan sarapanku dan miliknya di atas meja. Ia mulai memakan sarapannya tanpa aba-aba selamat makan sedangkan aku diam memandangi telur mata sapi berbentuk sempurna yang dimasaknya hari ini. Saat Boni telah menghabiskan separuh porsi sarapannya, aku baru mulai menyentuh makananku.

Hanya denting piring dan sendok yang terdengar di ruang makan. Kesunyian yang ada terasa menyesakkan karena hampir tidak ada lagi yang bisa kudengar. Gesekan halus tanaman di dekat jendela bahkan terdengar seperti ketukan-ketukan pintu yang berirama.

Aku menelan makananku dengan susah payah, bersamaan dengan harga diri yang mulai larut dalam penyesalan. Sejujurnya, aku mungkin tidak akan rela jatuh cinta jika tahu bahwa harga dirilah yang akan menjadi taruhannya, namun inilah yang terjadi saat ini.

Kejadian kemarin seakan terulang di hadapanku saat ini. Dan semakin aku mengingat setiap rinci dari kejadian kemarin, aku semakin sadar bahwa aku berada dalam posisi yang salah. Perbuatanku, ucapanku, pikiranku, aku sepenuhnya salah. Keadaan dan situasi mendesakku dan membuatku menyalahkan Boni hanya demi membuat perasaanku membaik. Aku kini mengangkat kepalaku dan berusaha untuk menatap lurus ke arah Boni.

Aku baru hendak membuka suara untuk mengatakan suatu kata-"maaf"-, namun niatku terhenti begitu Boni bangkit dari kursinya dan berjalan cepat ke arah kamar. Aku bergeming sesaat dan menelan kata-kataku sendiri. Kepalaku tertunduk dan hati kecilku bergetar pilu.

Boni tidak pernah seperti ini.

Maksudku, hubungan kami tidak pernah begini.

Air mata menetes jatuh di atas piringku pagi ini.

Ini sarapan terburuk seumur hidupku.

***

Park Chanyeol tahu ada yang salah pagi ini begitu ia melihat Bona dan juga Boni keluar melalui pintu rumah mereka secara bersamaan tanpa menoleh padanya sama sekali.

Seakan-akan Park Chanyeol bukan tetangga lamanya.

Dan kedua gadis kembar itu tahu ada yang salah pada diri Park Chanyeol begitu melihat anak itu mengendarai sepedanya tanpa membawa tas sekolah miliknya.

Keduanya,

tertawa diam-diam.

Namun tawa Bona semakin keras, menandingi hembusan angin pagi yang menusuk tulang.

Boni menoleh.

Dan semudah itulah mereka berdua menganggap kejadian kemarin adalah masalah untuk dilupakan.

Mereka berdua akhirnya berjalan beriringan sambil bergandengan tangan.

Bona, ia tidak mendahului Boni untuk berlari masuk ke dalam gerbang sekolah.

Maka hari itu semua murid di sekolah mulai mengetahui bahwa kedua gadis tersebut saling terikat satu sama lain. Mereka semua dalam diam berpikiran "oh, itu alasan mengapa kita melihat seseorang yang lain dalam diri Boni dan seseorang yang lain dalam diri Bona".

Setidaknya untuk hari ini, semuanya terasa baik-baik saja.

Tbc..

***

64 KilogramsUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum