06

3.9K 623 144
                                    

"Bagaimana anak laki-laki di kelasmu? Ada yang tampan?"

Aku menatap cermin sambil setengah melamun. Di permukaan cermin ditempel beberapa stiker dari bonus makanan ringan dan potongan halaman majalah mode.

"Kalau pun ada, dia tidak akan pergi ke sekolah. Sekolah bukan tempatnya." aku menjawabnya sambil tertawa. Aku kemudian meraih ranselku dan berjalan keluar kamar.

Lantai ruang tengah terasa lebih dingin dan lembab di pagi hari. Jendela terbuka lebar dan cahaya pagi yang keemasan menerangi ruangan. Aku mengambil kunci cadangan di atas meja kayu dan menyelipkannya ke dalam saku rok.

"Tunggu aku. Kita berangkat bersama!" dia mengikat rambutnya asal dengan scrunchie. Suaranya terdengar tergesa-gesa.

Ia kemudian berjalan dengan langkah lebar dan berlari menyusulku.

Hari Kamis, 11 April 2005. Cuacanya cerah dengan sedikit awan. Televisi sedang menyiarkan berita soal ramalan cuaca ketika itu. Ibuku duduk di meja makan sambil mengisi kuesioner dari tempat kerjanya. Ayahku tidak di rumah, sudah berangkat kerja setengah jam lebih awal.

"Jangan pulang larut." ibuku bicara tanpa menoleh.

Dia mengangguk sedangkan aku sibuk dengan kerah kemejaku yang kaku.

"Kami berangkat!" ujar kami bersamaan.

***

"Astaga, tidak lagi." ujarku sambil merogoh-rogoh sesuatu dari dalam tasku.

Kami baru saja sampai di tempat pemberhentian bus tepat beberapa menit yang lalu.

"Lagi?" dia menghentikan langkahnya sambil melipat tangannya di depan dada.

Aku menyeringai.

"Pergilah lebih dulu. Aku harus kembali ke rumah. Kurasa aku meninggalkan catatanku." ujarku sambil berdiri dan bersiap untuk kembali.

Dia terlihat kesal namun tidak banyak bicara.

"Cepat ambil kembali catatanmu. Kau tidak boleh datang terlambat." ujarnya.

Aku mengangguk lalu berlari meninggalkannya. Setelah melewati rumah dengan tembok abu-abu, aku menghentikan langkahku dan memperhatikannya dari jauh, menunggu dia dibawa pergi oleh bus pertama di pagi hari. Ketika bus yang ditumpanginya telah menghilang di ujung jalan, baru aku kembali.

Seakan baru tiba, aku duduk di kursi pemberhentian bus dan menunggu bus berikutnya sampai. Seperti itu, hampir setiap harinya.

Seakan-akan kami berangkat dari pintu yang berbeda setiap paginya.

Bukan dengan maksud buruk aku bertindak begini, hanya saja ada sesuatu yang sangat sulit kujelaskan sekaligus kutakuti setiap kali berjalan bersamanya.

Karena semua tau beberapa penyakit itu menular, begitu juga halnya dengan rumor dan stigma yang melekat pada diri seseorang.

Dan aku hanya tidak ingin membuatnya terlibat.

Itu saja.

***

"Park Bona!" seorang anak laki-laki bertubuh jangkung berdiri menungguiku di depan gerbang sekolah.

"Ada apa?" jawabku lirih. Aku mempercepat langkah kakiku tanpa memperdulikan si jangkung yang kelihatannya ingin mendapatkan atensiku.

"Beberapa hari ini kau tidak menemuiku saat jam istirahat." ujarnya sambil terengah-engah.

"Lalu?"

Dia diam. Langkahnya masih menyesuaikan irama langkahku.

"Lalu kenapa?" aku kembali bertanya.
Dia terlihat kebingungan untuk menjawab sampai akhirnya ia berbicara dengan suara yang lebih lantang dari sebelumnya.

64 KilogramsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang