[09. Baskara]

1.4K 312 22
                                    

Keesokannya. Semua berjalan seperti pagi sebelum-sebelumnya, Nindi bangun dari tidurnya dan merasa sangat segar seakan semua yang terjadi kemarin tak pernah tercatat dalam sejarah hidupnya.

"Udah enakan?"

Suara yang familiar membuatnya menoleh, ia melenggang duduk di pinggiran kasurnya. Nindi terdiam tak menjawab dan malah menatap kosong punggung cowok itu.

"Aku ... habis buat salah ya?" Tanya Nindi dengan nada ragu-ragu bercampur takut. Ia rasa Vante tidur di kamarnya semalam, terlihat dari handuk kimono yang ia kenakan. Maksudnya di sofa Nindi.

Vante menoleh sebentar menatapnya sekilas lalu menghelah napas. Melihat ekspresi cowok itu, membuatnya tahu kalau ia sedang marah. Meski ia tak ingat sedikit pun tentang apa yang terjadi semalam, tapi ia sudah hafal dengan sifat Vante dan apa yang sering terjadi padanya. Ia tak akan bertanya mengapa ia tak mengingat apa-apa. Karena terakhir kali ia bertanya padanya, Vante hanya berkata, “aku Kakak mu, aku tahu apa yang baik untuk ingatanmu dan apa yang tidak. Jadi kumohon jangan pernah bertanya lagi”.

"Kamu nyium Cakra" jawab Vante seakan memberi makan seluruh isi kepala Nindi yang penasaran.

Nindi terbelalak, seketika memegang bibirnya sendiri. Bagaimana bisa ia mencium orang menjengkelkan itu? Amboi, ia sepertinya akan mandi penghilang najis nanti.

"Udah aku maafin" lanjut Vante berbalik.

"Makasih" balas Nindi canggung, entah kenapa rasa bersalahnya makin terasa sampai ubun-ubunnya sendiri.

"Sini" Vante menepuk pahanya, menatap Nindi datar tanpa ekspresi.

A-apa? Maksudnya? 

Nindi terlihat terkejut, namun tetap menurut. Ia berdiri setengah badan di atas kasus dan mulai merangkak dengan kedua lututnya ragu-ragu. Namun karena tak mau menunggu lama, Vante meraih  pinggangnya dengan kedua lengan kekarnya dan menarik tubuh Nindi layaknya anak kecil.

DEG!

Nindi terdiam dengan denyut jantung  tak karuan saat kulitnya mulai menyentuh paha Vante. Ditambah lagi lengan cowok itu melingkar hangat di perutnya, Nindi ayo sadar. Aku tahu dia bukan kakak kandungku tapi arghskjghsdfjkhl.

Kalau begini. Vante pasti bisa mendengar detak jantungnya.

Aish!

"Aku udah hapus bekas ciuman Cakra.  Jadi jangan berani cium dia lagi" ucap Vante menunjuk bibir Nindi dengan telunjuknya, matanya tak berkedip, Nindi langsung mengatup bibirnya sendiri karena takut pada tatapan Vante.

Astaga naga, ujian batin macam apa lagi ini. Gumam Nindi dalam hati cemas.

Bukannya ia tak suka. Tapi... Vante kan kakaknya.

Kakak tiri...

______

 
"Siapa yang tega ngelakuin ini sama adek gue?!" Teriak Jessica frustrasi.

Pulang dari pemakaman adik laki-lakinya, ia benar-benar murka. Fakta bahwa ia masih tak terima kalau Daffa meninggal karena tabrak lari membuatnya sangat-sangat ingin mengetahui siapa brengsek yang sudah membunuh adiknya.

"Lo tenang aja. Gue, Rakas, dan Genta bakal cari tahu orangnya" ucap cowok gondrong ber headband itu.

"Nih minum dulu" Genta menyodorkan segelas air ke Jessica.

"Makasih" jawab Jessica sinis.

"Judes amat sih lo" tegurnya.

"Lo jangan mancing emosi gue!" geram Jessica menumpahkan air itu ke wajah Genta.

PANTHERO SECRET [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang