Part 42 (Tangisan Rian)

715 49 13
                                    

.
.
.

Sosok anak remaja itu menatap kobaran Api dihadapannya dengan tatapan kosong. Orangtuanya masih ada didalam sana. Terjebak kobaran api yang menghanguskan rumahnya. Masih teringat jelas dibenaknya teriakan dan rintihan orangtuanya yang mencegahnya untuk masuk. Rian tidak memperdulikannya, pasti ada sesuatu yang menahan kedua orangtuanya untuk keluar.

Tapi sebelum ia masuk ke dalam kobaran api itu ia langsung ditahan petugas kebakaran yang berjaga, dan tepat setelah itu bunyi ledakkan terdengar dari dalam. Melemparkan puing-puing bangunan dan api seketika menyambar hebat seluruh rumah.

Memupuskan harapan seorang anak remaja berumur tiga belas tahun untuk memeluk kedua orangtuanya.

Dalam keadaan hidup.

Dan pada akhirnya isak tangis pilu itu terdengar. Seolah berteriak pada alam yang menghancurkan semuanya.

.
.
.

Beberapa saat kemudian setelah cukup tenang Rian yang masih ditemani salah seorang petugas yang menahannya tadi menatap gerombolan orang dewasa dibelakangnya benci.

Bagaimana tidak?

Mereka yang tak lain adalah tetangganya sendiri hanya berdiri disana. Seolah tidak berniat membantu para petugas kebakaran untuk memadamkan api dan menyelamatkan orangtuanya. Bersikap acuh padahal yang menjadi korban adalah tetangganya sendiri.

Denyutan nyeri kembali terasa, tatapannya kosong menatap kobaran api yang kian lama makin menghilang. Meninggalkan sejuta luka dihatinya.

Kenapa tuhan begitu tidak adil?

Kenapa setelah kakaknya tuhan merampas kedua orangtuanya?

Kenapa hanya dia yang dibiarkan hidup?

Kenapa hidupnya harus seperti ini?

Apa salahnya?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang terus berputar-putar dibenaknya.

Air mata itu kembali menetes mengingat ia tidak memiliki siapa-siapa lagi. Siapa yang harus disalahkan? Sekolah iblis yang merebut semuanya? Atau tuhan yang membuat cobaan begitu berat padanya?

Berlahan anak itu teringat ia masih memiliki nomor ponsel Alvin disakunya. Dengan tergesah dia mengambilnya lalu meminjam ponsel petugas disampingnya. Ia berusaha menggerakan jari di layar keypad ponsel itu, mengirim pesan karena jujur saja ia tidak sanggup untuk berbicara pada Alvin saat ini. Mulutnya masih terlalu keluh untuk menceritakan semua.

Setelah mengirim pesan tubuh itu berlahan limbung kebelakang.
Melepas seluruh beban yang ditanggungnya untuk sementara.

Sebelum pada akhirnya mata itu akan kembali terbuka dan melihat kenyataan pahit itu.

.
.
.

Alvin berlari ke rumah sakit dengan tergesah-gesah, tidak perduli dengan luka dikepalanya yang masih belum sembuh benar dan nyeri dikepalanya yang sudah dirasakan dari tadi.

Alvin menghela nafas lega mendapati Rian yang tertidur pulas dengan selang infus ditangannya. Lelaki itu duduk disamping Rian, memperhatikan wajah damai anak yang baru menginjak remaja itu. Tatapannya hening mengetahui anak itu sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi.

Ya..
Lelaki kalem itu tau bila keluarga pak Cipto tidak memiliki sanak keluarga lain. Pak Cipto dan istrinya dulu sama-sama anak yatim piatu disebuah yayasan panti asuhan. Takdir mempertemukan mereka hingga dikaruniai anak laki-laki yaitu Rian.

Kakak perempuan Rian?

Kakak perempuan Rian diadopsi 20 tahun yang lalu sebelum sang istri mengandung anak pertamanya.

WARNA-WARNI KEHIDUPANWhere stories live. Discover now