5. "Lo keren!" [ Ana's POV]

Start from the beginning
                                    

" Lo ganti baju di kamar mandi gue aja, Ta. Gue yang ganti baju disini," ucap Nicole yang bergegas mengambil pakaian di lemarinya. Aku mengangguk setuju, lalu berjalan ke kamar mandi Nicole. Tak sampai 5 menit, aku sudah selesai berganti pakaian. Aku mematut diriku di cermin. Orang lain pasti tidak menyangka kalau di balik tampangku yang lugu dan culun ini, aku punya hobi buruk yakni, balapan liar.

" Lo udah siap belom?" teriakku dari dalam kamar mandi pada Nicole yang berada di luar kamar mandi.

" Udah, Ta. Keluar aja!" sahutnya dengan nyaring. Aku langsung keluar dari kamar mandi dan mendapati Nicole yang terlihat sangat cantik. Memang Nicole pada dasarnya cantik, sih. Dia mengenakan crop- tee lengan panjang berwarna hitam yang kontras dengan kulit putih pucatnya, celana jins, dan sepatu bot hitam dengan mode kekinian.

" Gue aneh banget ya, pake pakaian serba hitam padahal kulit gue sawo matang," ucapku yang merasa miris dan nge- down. Nicole berjalan menghampiriku. Dia melepaskan kacamataku, lalu memoleskan bedak tipis ke wajahku. Aku hendak protes, tapi dia malah menyemprotkan parfum beraroma lemon ke pakaian yang kukenakan. Setelah itu dia memasangkan kembali kacamataku.

" Lo itu Christia. Lo tuh sahabat gue, Ta. Jangan nge- down atau minder sama penampilan lo, Ta. Mana sahabat gue yang berani balapan dan sanggup ngalahin ribuan cowok liar? Masa hanya karena penampilan, lo jadi minder," ucap Nicole dengan nada menghibur padaku.

" Iya deh. Lo bener,"

" Tapi Tita, by the way GPS itu ngelacak berdasarkan nomor handphone atau handphone?" pertanyaan Nicole membuatku tertegun seketika. Gimana nih? Aku juga tidak tahu pasti GPS itu melacak posisi seseorang berdasarkan posisi nomor handphonenya atau posisi handphone itu sendiri.

" Nah, itu gue enggak tahu,"

" Yahh! Jadinya gimana dong?" omel Nicole yang menatapku dengan bingung. Aduh, memang kalau udah berbohong tuh ribet, ya. Eit, jangan mau berbohong sepertiku, ya.

" Nomor telepon gue kan ada dua. Dua- duanya sering gue gunain," ucapku berusaha terlihat tenang. Aku tidak mau lagi memikirkan kemungkinan- kemungkinan buruk lainnya. Nanti kami malah terlambat karena berdebat soal GPS dan handphone.

" Oh iya! Gue lupa. Ya udah deh, kita capcus ya, Tita. Lo harus bisa menangin nih balapan. Gue enggak mau tau, pokoknya harus menang,"

***

Sesampainya di arena balapan, Dimas dan yang lainnya menyongsong ke arah Davisku. Aku meminta Nicole untuk di dalam mobil, sedangkan aku keluar dari mobil. Dimas merupakan teman sepermainanku sejak aku masih di bangku SD. Hubunganku dan Dimas juga sangat dekat.

" Yang lain udah pada dateng?" tanyaku dengan alis terangkat. Dimas tampak serius dan sedikit tegang. Rambut hitam legamnya terlihat acak- acakkan. Dia hanya mengangguk pelan.

" Gue rasa kali ini kita bakal kesusahan, Na. Lawan kita nanti itu orang yang berpengalaman," ucapan Dimas membuatku mendengus sebal. Aku tidak suka kalau Dimas berbicara seperti ini. Sebagai ketua tim, harusnya dia optimis, kan?

" Tenang aja, Dim. Kalo gue enggak bisa ngalahin orang itu, nama gue bukan Ana Vettel," tegasku dengan serius. Aku menatap Dimas dengan sangat yakin. Dimas balas menatapku dengan pandangan berterima kasih.

" Kita atur strategi dulu dong, Vettel. Ngalahin orang itu dan timnya kayaknya bakal sulit," ucap cowok berkacamata dengan rambut dijambul ayam. Aku lupa nama cowok itu, jadinya aku memanggil dia Chicken Boy. Omong- omong, dia selalu memanggilku Vettel atau Sebastian Vettel. Alasannya sih, karena dia merasa aku balapan seperti Sebastian Vettel. Aku bukannya sombong, lho.

PromisesWhere stories live. Discover now