“Kau tau? Aku tak suka style culun-mu ini. Kenapa kau tak muncul dengan gaya anak rumahanmu? Sungguh kau lebih tampan saat menjadi anak rumahan.”

“Aku nyaman seperti ini, Jim. Aku suka dengan gayaku."

“Ya sudahlah. Aku bersyukur kau menggunakan gaya cupu seperti ini. Karena sesungguhnya, aku minder jika kau tetap tampan. Percaya atau tidak, wanita diluar sana akan melirikmu dibanding aku jika kau tak menggunakan dandanan cupu ini. Kesimpulannya…….,” Jimin menjeda kalimatnya. Jungkook tau. Dia tak mau membuang waktu terlalu lama. Dengan menarik nafas, dia segera berlari meninggalkan seorang Park Jimin.

“Kenapa kau lari?!!! Aku mau mengucapkan terimakasih!!! Aku mau memelukmu!!,” Jimin menggendong tas-nya dengan benar sebelum berlari mengejar Jeon Jungkook yang sudah sibuk menghindarinya.

*

“Hirai Momo?,” Yerim membuka suaranya ketika sebuah foto dijepit diantara telunjuk dan jari tengahnya. Yerim  tak menaruh minat sedikitpun pada gadis berambut pirang yang ada di foto. Gadis keturunan Jepang yang akan menjadi targetnya.

“Eoh. Papa meminta kita untuk mengambil berlian yang ada di..,” Irene menjeda kalimatnya. Dia tersenyum licik lalu menjulurkan lidahnya. Telunjuk lentiknya menunjuk tepat di lidah yang ia julurkan.

“Tindik?,” Yerim sedikit terkejut. “Jangan bilang tugasku kali ini memotong lidahnya,” Yerim mendengus menebak apa yang harus dilakukannya.

“No no no… kau tak perlu memotong lidahnya. Cukup dapatkan berliannya. Lain halnya jika dia memberontak,” sekali lagi Irene menjeda kalimatnya dengan sebuah senyuman miring yang sedikit menyeramkan dan memikat disaat yang bersamaan. “Jika dia memberontak, lakukan sesuai yang kau pelajari disini.”

Irene memberesi dokumen-dokumen yang dia bawa lalu meninggalkan Yerim seorang diri. Tenggelam dalam pikirannya sendiri.

“Bangsat… sampai kapan aku bisa berhenti. Aku bahkan tak mengenal gadis ini,” sekali lagi, tangan Yerim mengangkat foto itu dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. “Hirai Momo… lebih baik kau menurut daripada bernasib buruk,” Yerim menghembuskan nafasnya dengan keras. Kesal menjadi ‘anjing’ piaraan orang yang wajahnya saja tak dia ketahui bercampur dengan kesal karena terkekang.

.

“Oppa, aku harus bagaimana? Lagi-lagi tugasku merampas dan ini bisa berujung pada membunuh,” keluh Yerim. Tangannya melempar kerikil yang digenggam kearah sungai. Kini Yerim duduk bersandar dibawah sebuah pohon dipinggir sungai dengan ditemani oleh seorang lelaki berlesung pipi yang manis.

Yang dimintai pendapat tidak segera mengutarakan pendapatnya. Melainkan tertawa terbahak-bahak seolah esok tak ada kesempatan untuk tertawa lagi. Mulutnya bergerak tiada henti mengunyah permen karet yang sudah tak terasa manis.

“Namjoon oppa! Aku tak memintamu tertawa!,” sungut Yerim. Tangannya yang ringan tergerak memukuli lelaki yang setia ada disampingnya sejak kedatangannya di sungai.

“Maaf. Aku tak sengaja untuk tertawa. Aku ada dipihak netral. Jika aku memberitahumu langkah yang harus kau ambil, itu artinya, aku ada dipihakmu. Aku tak mau,” putus Namjoon.

“Memang apa yang kau takutkan? Seorang hacker yang juga gammer sepertimu takut dengan mafia? Wow,.. mencengangkan,” ledek Yerim. Dalam hati tetap berharap agar hacker handal, teman diluar markasnya itu mau membantu membuatkan data palsu untuk kabur.

“Kau selalu mengeluh setiap bertemu denganku. Aku sudah berkali-kali mengatakan. Carilah jalan keluar sendiri. Aku dulu juga bagian dari organisasi. Tapi aku akhirnya bisa bebas karena aku berusaha mencari jalanku sendiri. Dan lagi. Orang yang sudah dilatih untuk menjadi anjing sepertimu akan sulit untuk keluar dan bebas.”

Shoot Me √Where stories live. Discover now