18. Selangkah Lebih Maju

676 56 37
                                    

Sampai di meja makan, Melvin mengernyit dengan ekspresi heran. Berbeda dari biasanya, kali ini ia tidak mendapati sosok Gigi--maaf, sosok mama maksudnya. Hanya ada sarapan yang terhidang di atas meja, menandakan bahwa mama telah menyiapkan itu untuknya.

"Ma?" panggil Melvin akhirnya. Tidak ada sahutan, Melvin melangkah menuju ruang tengah.

"Di sini rupanya," ujar Melvin setengah berteriak. Dua kepala menutar ke arah Melvin seiring berakhirnya ucapan itu.

"Melvin, udah sarapannya?" tanya mama ketika mendapati anaknya sudah siap dengan seragam sekolah. Melvin menghampiri dua wanita itu dan ikut bergabung di sana.

"Belum, Ma. Aku bingung kenapa Mama nggak ada di dapur, jadi aku ke sini deh." Melvin melirik wanita satunya lagi, wanita yang baru saja berhasil berjuang mengalahkan tumor hemangioblastoma.

"Kamu ke sekolah bawa gitar, Vin?" tanya wanita itu. Meskipun sudah dinyatakan sembuh, namun kondisinya masih terlihat lemah.

"Iya, Tante, mau latihan."

"Emang boleh bawa gitar?" sahut mama.

Melvin tersenyum, mamanya pasti teringat dengan kejadian satu tahun lalu. Masa di mana beliau dipanggil guru karena Melvin membawa gitar ke sekolah. Ya, tapi itu dulu, saat mereka masih berdomisili di kota Palembang.

"Enggak dong, Ma. Kan buat persiapan mengisi acara pesta."

"Pesta apa?" tanya mama seraya memijat-mijat punggung tangan adiknya--tante Dewi.

"Pesta akhir tahun, Ma. Jadi nanti ada pertunjukan-pertunjukannya, gitu."

"Wah ... kamu jadi pengisi acaranya, Vin?"

Melvin menggeleng pelan. "Enggak, Tante. Melvin cuma ngajarin temen main gitar, soalnya dia yang kepilih jadi perwakilan kelas, tapi dia nggak bisa main gitar."

"Temennya cewek apa cowok?" Sebuah senyuman jahil terukir di bibir mama. Melihat keponakannya yang tengah dilanda salah tingkah, tante Dewi turut menyematkan senyuman di bibirnya.

"Anu ... Jo-Jojo gimana, Tante? Kapan dia mulai sekolah lagi?" Melvin mencoba mengalihkan arah pembicaraan. Ya iyalah, mana mau dia digoda sepeti itu.

"Enggak lama lagi kok, Vin. Hari ini baru mau ngurusin surat pindahnya." Mama mewakilkan tante untuk menjawab. "Udah, sarapan dulu sana! Nanti aja ngobrolnya."

"Aku langsung ke sekolah aja deh, Ma. Entar telat kalo sarapan dulu."

Mamanya mencoba melarang, menegaskan kepada anak semata wayangnya untuk sarapan terlebih dahulu. Namun Melvin bersikukuh mengatakan, bahwa dia bisa sarapan di kantin sekolah. Padahal tidak akan ada kantin yang buka sepagi ini. Dasar Melvin!

***

"Woi, bawa apaan lu?" Baru saja memasuki kelas, Melvin sudah disuguhi dengan pertanyaan tak berfaedah macam itu.

"Kecapi. Ya gitar lah, Sukri!" balas Melvin.

Sukri manggut-manggut dengan ekspresi bodoh. "Oh ... gitar, ya?"

Tak ingin mencelakakan anak orang, Melvin langsung melangkah menuju bangkunya. Melvin sedikit kaget ketika mendapati Niken yang memandanginya. Bukan, bukan karena pandangan itu. Melvin kaget karena Niken sudah datang sepagi ini, sedangkan sahabatnya--Aliya--belum menampakkan diri. Ter-ba-lik.

"Hai, tumben udah dateng?" Melvin berbasa-basi seraya meletakkan gitarnya di atas meja. Dari raut wajahnya, Melvin dapat berasumsi bahwa Niken sedang tidak baik-baik saja.

"Papa yang nganter. Karena takut macet, jadi datengnya pagi-pagi banget."

"Terus?"

"Jalannya nggak macet."

Vitamin CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang