Part 24 : Suatu Pagi Dalam Satu Bulan

Start from the beginning
                                    

Gina diam sebentar, memikirkan kejadian yang dia pernah rasa "Kayaknya engga kak, kenapa?" Setelah Gina berkata begitu, sekolah sudah mulai terlihat namun gue melaju melewati sekolah "KAK!! Udah kelewataaaaann" Kata Gina sambal memukul pundak, tetap saja gue tancap gas. "emang sengaja dilewatin. Tujuan kita bukan itu, kita ke Universitas Indonesia jalan jalan. Itukan kampus impian kamu?"
"Iyasih, cuman kan kita gak boleh bolos sekolah" Gina memelas sambil menaruh kedua tangannya di pundak gue "Kalau satu kali boleh kok, kalau seribu baru gak boleh. Wali kelas juga mengerti bahwa cabut tidak apa jika dilakukan hanya sekali"

Gina memukul pundak dan berteriak "NGACO!!" dia tertawa, gue juga. "Yaudah mau kemana? Sekolah sudah lewat lagipula kalau masuk akan berhadapan dengan singa. Lebih baik menghindar. Gimana ke UI gak?" Gina menjawab sambil memegang kantong jaket gue "Iyaudah deh"

"Asiikkk" Gue langsung tancap gas untuk pulang ke rumah, mengganti motor menjadi mobil. Kebetulan Bunda dan Ayah sedang tidak ada di rumah, mereka sedang menghadiri pernikahan sepupu tadi pagi, katanya pulang malam. sesampainya di rumah, saat menaiki mobil, Gina bertanya "Kenapa naik mobil?"

"Kalau naik motor nanti ketilang, atau engga kamu kedinginan" Gue menyalakan mesin mobil dan meletakan tas di jok belakang. Gina juga. Diiringi musik easy listening, mobil melaju cepat. Namun tetap saja, Jakarta tidak pernah memperbolehkan kendaraan untuk melaju cepat. Gina melihat pemandangan melalui jendela, sementara gue hanya mengetuk ketukkan jemari di kemudi. Tidak ada sama sekali suara pada selasa pagi, entah mengapa hari ini lagi malas bersuara. Seperti bersuara pada hari selasa harus bayar dua ribu per kata.

Handphone berbunyi, ternyata dari Niko. Dia menelepon, langsung gue angkat " Ada apa?" Tanya gue ke Niko tanpa perlu menyapa terlebih dahulu "Lu kemana? Cabut? Najis cabut gak ngajak. Udah tau sekarang pelajaran kimia, lu gatau betapa membosankannya kesetimbangan dan larutan?!?!" Kata Niko dengan nada meninggi dan menggema, sepertinya dia di kamar mandi.

"hehehe kalau gue ajak lo, nanti jadi nyamuk. Gue lagi sama Gina, menikmati indahnya cabut berdua bersama perempuan. Bosen sama batangan doang, kalau dipegang tangannya dikira homo. Kalau hujan, gak bisa dipeluk. Ehehehe " Gue tertawa, Niko mendengus kesal.

"yah elah, gue mah gak ganggu. Cepet amat udah ganti gandengan, perasaan dulu sama Dean. Dean kemana?" Niko masih berbicara melalui telepon dengan gema kamar mandi. "Oh Dean, dua menit yang lalu telah ditelan bumi. Hilang sudah dari sini. Ngomong ngomong, lo lagi di kamar mandi yak?"

"Iyak, gue telat. Terus cabut kesini. Bingung mau ngapain, makanya telepon lu. Tadi gue di LINE Ardi kalau lo gak masuk, dia kira kita cabut berdua. Lagian juga kalau telat di pelajaran kimia, disuruh keluar. Lebih baik berinisiatif untuk tidak masuk kelas karena hasilnya akan sama" Kata Niko mantap. Padahal Niko baru saja pulang dari izinnya, sudah mau tidak masuk lagi dengan alasan konyol. Yaitu tidak mau mengikuti pelajaran kimia. "Oh iyak, gue belom ketemu lu nih selama sebulan. Cemen lo cabut!" Ledek gue ke Niko yang baru saja usai menikmati liburannya.

"Hahahaha kok cemen, itukan acara penting. Kakek gue nikah lagi, masa iyak gue gak dateng sih. Ini ada oleh oleh dari Inggris, eh lunya gak ada. Gue kasih aja deh ke orang lain" Niko tertawa, sudah berapa lama kami berbicara dan Gina sama sekali tidak memotong atau menanyakan sedang menelepon dengan siapa. Kami seperti melepas rindu walau hanya sebulan tidak ketemu. Padahal esok hari masih bisa berjumpa. Gue tanyakan dia tentang oleh oleh yang dia bawa " Lu bawa apaan dari Inggris?"

"Gantungan kunci" Jawab dia simple dan pelit. Gantungan kuncikan bisa dibeli di Tanah Abang, ngapain ke Inggris oleh olehnya cuman gantungan kunci. "YAELAH DI TANAH ABANG BANYAK KALI!!" Gue berteriak kesal, Niko tertawa lalu dia bilang "Bercanda, masa iyak gue sepelit itu. Ngomong ngomong pas gue gak masuk, kita berantem sama Chorm?" Tanya Niko, lantas langsung gue ceritakan seluruh kejadian yang menimpa. Niko mendengarkan lagi padahal sudah diberitahu melalui video call, dia juga memberi sebuah nasihat

"Kenapasih cinta harus dibawa ke tongkrongan? Kan bisa diselesaikan masing masing, lu juga bodoh berantem di sekolah. Untung ada mukjizat lo gak dikeluarin, coba dikeluarin. Kan lebih seru jadinya. Hehehehehe." Niko tertawa, lalu gue membalas cepat dan kesal "Sialan lo"

*****

Setelah Niko menutup telepon, gue dan Gina diam hingga tiba di daerah UI. Dia mulai membuka topik pembicaraan "Kak, pernah punya mantan berapa?" Tanyanya kepada gue yang sedang melihat ke depan "Dua. Satu pas dua smp, satu lagi SMA, Kenapa?"

"Engga, nanya aja. Kirain gak punya, berarti pernah rasain pacaran?" Tumben nanya begini, biasanya dia memberikan pertanyaan konyol seperti "Hewan hewan apa yang magician?" dan jawabannya pun sangat konyol "PENYUlap" Sekarang dia menanyakan sebuah pertanyaan berbobot dan membosankan karena bahasannya adalah perasaan pribadi. "Yah pernah. Masa pacaran gak pernah ngerasain pacaran, memang ada yah pacaran jenis baru dimana kedua spesiesnya berstatus jomblo padahal bilang suka?"

Gina menjawab cepat, wajah dia palingkan ke arah jendela "Ada kak! Mereka yang dekat tapi tidak memiliki status. Mungkin spesies itu yang kakak maksud. Mereka dekat layaknya pacaran tapi berstatus sendirian" Gue menggaruk tengkuk, jalanan macet bergerak sekitar 5km/h. Gue melihat stir, Gina kembali berbicara "Kadang kalau tidak diberi kepastian gak enak yah, hanya dekat tapi gatau hubungannya seperti apa?" Gina melihat ke depan, mukanya kaku padahal tadi pagi ceria dan masih bercanda. Sekarang dia serius, ada sesuatu yang dia resahkan.

"Maksudnya?" Gue bertanya, Gina hanya menggeleng dan memiringkan badan ke sebelah kiri, memunggungi gue. Rasanya ingin mencolek dan bertanya apa yang salah, namun sepertinya hal itu sedang tidak tepat. Gina tidak mau diganggu, jadi ada baiknya gue diam. Membiarkan dia diam untuk semnetara. Siapatau dia bisa kembali bahagia.

Edgar StoryWhere stories live. Discover now