"Tapi sama siapa? Kalau teman cowoknya yang sekelas itu nggak mungkin." Davi menghela napas dalam, tidak yakin kalau Zelda pacaran dengan Leo.

"Vi, Vi, lo bakal tahu jawabannya kalau lo tanya Zelda." Setelah berkata demikian, Ray berlalu dari hadapan kedua temannya.

Davi memperhatikan punggung Ray, Bayu mengepalkan tangannya, tidak menyangka Ray akan melakukan hal yang kemungkinan besar merusak persahabatan mereka.

"Bay, kok gue ngerasa ada yang aneh sama Ray." Davi masih memperhatikan punggung Ray yang nyaris ditenggelamkan koridor berbeda. Ray berbelok menuju cafe kampus.

"Perasaan lo aja kali." Bayu menepuk bahu Davi, sebelum mengajak lelaki itu melanjutkan langkah.

        🍁🍁🍁

Di satu sisi, pada waktu yang bergerak maju, Leo memandangi setiap inci wajah Zelda. Mereka sedang duduk di gazebo. Tidak berdua, ada Rara yang tak kasat mata bagi kedua manusia itu.

"Sekali gue berusaha agar lo bisa lihat gue, tapi sekali itu juga lo anggap gue suka cewek lain." Ada nada getir pada suara bass Leo. Ada kesedihan yang tidak bisa tertutupi lagi.

Zelda merasa perempuan paling jahat telah menyakiti lelaki sebaik Leo. Dia menatap Leo dengan raut sesal.

"Gue nggak bisa nebak perasaan orang. Gue nggak sepeka itu, Leo. Kalau lo nggak ngomong langsung, gue nggak akan tahu lo suka siapa." Meski ada nada sesal pada suara Zelda, tapi Leo masih terlena pada sakit hatinya.

Dia tahu dia juga bersalah, karena tidak lebih dulu mengungkapkan perasaannya pada Zelda. Sekarang dia harus berpikir antara merelakan atau menunggu Zelda putus dan kembali berjuang.

Leo menatap Zelda, mereka duduk bersampingan. Dan di samping Zelda ada Rara yang menatap taman belakang kampus dengan tatapan kosongnya. Luka memang senang bermain pada letak hatinya, luka senang menenggelamkan perasaannya.

"Lo seharusnya sadar selama ini gue selalu berusaha terlihat di mata lo. Gue selalu mau menjadi tempat lo bercerita kisah sedih lo. Itu gue lakuin karena gue sayang lo, Zel." Leo mengusap wajahnya ketika melihat Zelda yang membalas tatapannya.  Pilu pada tatapan itu terlihat jelas.

"Gue ..." Zelda menghela napas dalam. "Lo tahu perasaan gue, Yo. Gue ... gue suka lo, gue nyaman bareng lo, gue bahagia. Tapi ... tapi gue ... gue anggap lo hanya sebatas teman. Gue nggak pernah bisa untuk menghilangkan kata teman."

Leo manggut-manggut, hatinya teriris, sama dengan hati perempuan di samping Zelda.

Rara tidak tahan lagi berada di posisi ini. Sampai kapan ia hanya akan dianggap sebagai patung?

Rara berdiri, membuat tatapan Leo mengarah kali ini padanya. "Gue ngerti lo patah hati, Yo. Tapi, sebelum lo mengeluh atas hati lo yang patah, seharusnya lo mikir juga ada hati yang lo buat retak." Rara berlalu, tanpa mau melihat ekspresi Leo dan Zelda. Sudah cukup dia hanya dianggap benda mati, sudah cukup dia membiarkan hatinya terluka berkali-kali. Dia harus mencoba menata hatinya seorang diri.

"Lo lihat, Yo, lo bilang gue nggak peka, tapi lo juga nggak peka." Zelda menggeleng-geleng, tidak tahu takdir apa yang sedang mempermainkan mereka.

Leo memandang tubuh mungil Rara yang sudah dimakan jarak. Dia mengembuskan napas. "Gue udah tahu."

Zelda tersenyum sinis. Tidak ada raut penyesalan di wajah Leo, meski telah mengetahui alasan Rara terluka.

"Bukan hanya gue yang patah hati, lo memang pacaran sama Ray, tapi lo nggak bahagia, Rara juga terluka karena gue. Kita patah hati, karena membiarkan hati kita jatuh pada orang yang salah." Leo berdiri, mengacak lembut rambut Zelda. "Gue sayang sama lo, entah sampai kapan." Perempuan itu termangu, beberapa menit, bahkan ketika Leo meninggalkannya.

Seseorang di dekat pohon hias melihat sebagian kecil kejadian itu. Dia berjalan mendekati Zelda yang kini menunduk.

"Pantas lo jauhin gue."

Zelda membeku di tempatnya, perlahan dia menoleh dan langsung tertampar oleh senyum manis Davi. Zelda tidak tahu ada luka yang tersembunyi di balik senyum itu.

Davi menaiki gazebo, tak mau lewat dari depan. Dia langsung duduk di samping Zelda yang mendadak bisu.

"Nggak usah grogi, gue nggak akan gangguin hubungan lo kok." Katanya memandang Zelda yang menunduk. Wajah perempuan itu tertutupi oleh rambut dark brownnya yang terurai.

Davi menyingkirkan rambut Zelda, menyelipkannya di sela telinga Zelda. "Bisa tatap gue, kan?"

Seperti terhipnotis oleh suara lembut Davi, Zelda mengangkat wajahnya. Iris hazelnya langsung bertubrukan dengan iris cokelat terang Davi. Pipinya merona merah saat Davi tersenyum manis.

"Meski takdir tidak berpihak pada kita, tapi gue masih berharap lo menjadi alasan gue bertahan." Katanya mengelus lembut rambut Zelda. Penuh sayang yang semakin hari semakin bertambah.

Zelda ingin menghentikan Davi, tapi hatinya terlalu keras kepala. Menikmati tatapan hangat itu.

"Pacar lo pembunuh, Zel." Rahang Davi mengeras, membuat Zelda mengernyit. Ray sahabat Davi, tidak mungkin Davi berkata seperti itu.

"Leo pembunuh, Zel. Dia yang rencanain untuk nyelakain gue." Tatapan itu tajam, ingin menumpahkan segala bentuk amarahnya.

Zelda menggeleng, dia tidak percaya. Leo orang baik, tapi dia lebih tidak percaya Davi mengira dia dan Leo pacaran.

"Lo jangan ngaco, Vi. Leo teman gue, dia baik, dia nggak mungkin lakuin itu." Zelda menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak menerima fakta tersebut.

Davi tersenyum sinis, luka di hatinya kembali menganga sendiri.

"Teman? Baik? Sampai kapan lo mau bohongin gue kalau lo pacaran sama Leo?" Zelda semakin menggeleng keras. Davi salah paham.

Davi tersenyum sinis lagi. "Oh, gue lupa, lo nggak akan nerima kenyataan kalau Leo yang nyelakain gue. Lo pasti belain pacar lo, kan?"

Zelda menggeleng. "Gu ..."

"Udah," Davi menghentikan ucapan Zelda, "Sepertinya gue harus nyerah. Lo udah pacaran sama Leo, gue nggak pernah ada lagi ..."

Zelda langsung memeluk Davi, tidak mau mendengar lebih lanjut hal-hal konyol yang Davi lontarkan.

"Gue nggak pacaran sama Leo. Dia emang nembak gue, tapi gue nggak terima karena gue nggak bisa lupain lo. Gue nggak bisa." Zelda mendekap  Davi erat-erat, tidak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya, walaupun itu tatapan merendah.

Dia hanya ingin jujur pada hatinya, sekali ini saja dia melupakan statusnya yang sudah menjadi kekasih orang.

Sedang Davi tetap bergeming, tak membalas pelukan Zelda. Dia tidak mau banyak berharap.

Di satu sisi, tidak berjarak jauh dari gazebo, Ray melihat kejadian itu. Tadi dia tidak sengaja melihat Davi berjalan terburu-buru, karena penasaran, dia mengikuti Davi dengan langkah lambat.

Dia marah ketika melihat Zelda memeluk Davi, tapi dia sadar tidak semua hal  bisa dipaksakan, termaksud perasaan Zelda.

"Sekali pun gue berusaha menggantikan Davi di hati lo, nggak akan pernah bisa, karena selalu ada ukiran nama Davi di setiap sudut hati lo." Ray memejamkan matanya, menerima luka yang seharusnya tidak pernah ada.

Sore itu, saat awan hitam berkumpul, langit perlahan kelam, menata hujan yang akan menemani orang-orang yang sedang terluka. Beberapa orang di antaranya, sedang sibuk menata hati masing-masing yang retak menjadi serpihan luka. Karena cinta, patah hati adalah hal biasa. Namun, mengobatinya masih terasa sulit.

🍁🍁🍁

Kritik, saran, komen.
Vote buat nambah semangat.

Typo diingatkan jika ada.

Sampai jumpa di waktu selanjutnya💙

The Fate (Completed)Where stories live. Discover now