Tak berapa lama pesawat mendarat mulus tanpa masalah berarti. Begitu pesawat benar-benar berhenti dan lampu seat belt tidak menyala lagi, mereka segera bangkit dan keluar dari pesawat, dengan Saga memimpin di depan.

"Duh," Lisa mengeluh pelan saat sepenuhnya berada diluar pesawat.

"Kenapa?" Saga yang mendengar segera berbalik ke belakang, menungggu wanita itu turun dari tangga.

"Panas banget," ujarnya dan memicingkan mata akibat teriknya matahari. Jakarta memang panas, tapi disini panasnya beda, terasa menusuk hingga ke dalam. Rasa-rasanya Lisa sudah tak sanggup menjalani sisa bulan madunya disini jika panasnya seperti ini. Dengan terpapar panas seperti ini 2 hari saja, tentu kulitnya akan menggelap.

"Di dalam pasti dingin. Ayo," Saga memakaikan topi hitamnya ke Lisa, agar wanita itu tak merasakan silau.

"Thanks," Lisa merasa baikan meski masih kepanasan. Paling tidak dia sudah bisa melihat dengan baik, tanpa harus merasakan terik. Saga menggenggan tangannya lembut menuju ruang kedatangan. Jantung Lisa kembali bertalu cepat.

Keluar dari ruang kedatangan, sudah banyak orang menunggu di depan, ingin menjemput entah keluarga atau teman yang sebentar lagi akan sampai dengan pesawat komersil. Lisa merasa asing dengan keadaan serta orang-orang sekitar, sementara pria di sebelahnya masih tenang-tenang saja sambil mendorong troli berisi koper. Seperti sudah sering ke sini sebelumnya.

Kemudian, seorang pria kira-kira berumur dua puluhan awal datang mendekati mereka sambil membawa kertas bertuliskan nama Saga dan Lisa. Dari pakaian seragamnya, sepertinya pegawai dari hotel yang khusus menjemput mereka.

"Bapak Sagara dan Ibu Lalisa?" Tanyanya dengan logat khas Sumba.

"Iya, itu kami pak," jawab Saga.

"Aduh, bapak saya masih muda saja. Masih 23 tahun. Nama saya Umbu Joka. Panggil Umbu saja,"

"Oke Umbu, panggil juga saya Saga dan istri saya, Lisa,"

Lisa tiba-tiba merasa bahagia saat Saga memperkenalkan dirinya sebagai istri. Tapi, merasa khawatir pada saat yang bersamaan. Itu semua hanya akting, pikirnya. Jadi, jangan bahagia dulu.

"Siap," Umbu mengangkat tangan, memberi hormat. "Bapak dan ibu tunggu disini saja, saya pergi ambil mobil dulu," Umbu segera berbalik menuju parkiran. Dari jauh Lisa bisa melihat sebuah mini van mendekat. Cat mobilnya seperti di print, bergambar sebuah resort. Ketika mobil sudah dekat, reaksi Saga kemudian membuat Lisa terkejut.

"Nihi!" Serunya dan begitu excited saat membaca tulisan Nihi Resort di badan mobil. Baru kali ini Lisa melihat Saga yang biasanya irit senyum, menyengir begitu lebar, hingga nampak kerutan sekitar matanya. Ada apa dengan Nihi?

"Nihi Lis! Nihiwatu!" Serunya lagi kali ini sambil mengguncang lengan Lisa.

"Iya, aku tahu Nihiwatu," ujar Lisa datar. Dia tahu, Nihiwatu 2 tahun berturut-turut memenangkan penghargaan The World's Best Resorts nomor 1 di dunia. Presdirnya sudah pernah ke sini dan begitu bangga menunjukkan koleksi foto-foto saat di Nihiwatu. Tapi reaksi Lisa sama saja seperti saat ini. Biasa saja. Pada dasarnya dia tidak terlalu suka pantai.

"Waktu itu saya pernah cerita sama ibu kalo pengen ke Nihiwatu, cuman belum ada waktu. Ternyata, ibu masih ingat," mata Saga terlihat sedih sekaligus bahagia. Sedih, karena tak bisa ke sini bersama ibunya. Bahagia, karena salah satu impian tertingginya terwujud. Saga tahu betul, reservasi di Nihiwatu sulit, karena selalu full booked. Lebih-lebih setelah mendapat predikat hotel terbaik nomor 1 di dunia. Untuk reservasi saja, hanya bisa melalui websitenya dengan kantor manajemen hotel cuman ada di Denpasar.

Are We Getting Married Yet?Where stories live. Discover now