Rui dengan perlahan kembali menggerakkan kepalanya menatap dua pria disebelah kirinya secara bergantian. Mata kosongnya tak mengekspresikan apapun. Menatap mereka cukup lama kemudian bibir mungilnya kembali terbuka membetuk kata 'Nii -chan?... Paman?' secara bergantian masih tak ada suara yang keluar dari bibir mungilnya tersebut.

Rinji terpaku menatap adik terkecilnya tersebut. Menatap seorang anak balita yang matanya menatap kosong kedepannya nampak seperti orang yang mempunyai gangguan pada penglihatannya.

"Ke -kenapa?"Rinji bergumam dengan suara getarnya. Wajah tertunduk dengan tangannya yang menggenggam kuat jemari kecil bocah tersebut.

"Kenapa?"kembali lagi Rinji menggumamkan kata yang sama.

"Rui kenapa kau begini?!"pekik Rinji yang mendongakkan kepalanya menatap Rui dengan mata nanarnya. Namun yang ditatap hanya menatap kosong padanya seakan tak mendengarkan suaranya.

"Padahal kau satu-satu yang selamat! Kau harapan ki-"

'PLAK!'

Suara tamparan yang keras tersebut mengisi seluruh isi ruangan serta menanggalkan suara Rinji. Tsurushi menatap garang pada Rinji yang posisinya sedari tadi melutut pada ranjang Rui. Tsurushi menarik lengan Rinji kearah pintu yang berada pada ruangan tersebut.

Tsurushi membuka pintu ruangan tersebut dan menunjukkan sebuah wastafel kamar mandi didalamnya, mendorong tubuh Rinji masuk dengan kasar.

"Kau tidak mendengarkanku? Atau kau ingin telingamu itu lepas dari kepalamu?"suara pelan dari Tsurushi tersebut mempu membiat Rinji tersentak diam dan merinding menatap pamannya tersebut.

"Kalau kau terus seperti ini- Aku tidak akan membiarkanmu memegang salah satu perusahaan"suara Tsurushi kembali terdengar membuat Rinji kembali tersentak.

"Kau boleh pintar. Tapi gunakan juga otakmu disaat-saat seperti ini"Tsurushi nampak mengatur napasnya agar tak menggebu.

"Dinginkan kepalamu baru kau boleh keluar. Dan kita akan membicarakan ini lebih lagi tapi bukan disini. Aku tidak ingin Rui mendengarnya"ujar Tsurushi yang perlahan menutup pintu kamar mandi tersebut meninggalkan Rinji yang masih didalamnya terdiam.

***

Kediaman besar Miyamoto nampak begitu sibuk dan ramai. Para tamu yang mengenakan pakaian serba hitam datang dan menuju pada sebuah ruangan secara bergantian. Wajah duka dari beberapa orangpun tak dapat dibendung.

Kematian dua anggota keluarga sekaligus benar-benar tak bisa mereka kira. Beberapa anggota keluarga nampak berkumpul pada suatu ruangan dimana diletakkan dua buah altar yang berdampingan dengan dua buah foto dalam bingkai coklat didepannya.

Para anggota keluarga nampak duduk pada bantalan duduk dihadapan altar tersebut dengan memberikan jarak ditengah untuk jalannnya para tamu yang akan berdoa.

Beberapa anak terlihat menangis tak jauh disamping kanan kedua altar tersebut. Terlihat anak tertuanya yang terlihat tegar namun wajah pucatnya tak mampu menyembunyikan kesedihannya. Dirinya memangku seorang anak balita yang hanya memandang kosong para tamu yang berdatangan untuk memanjatkan doa, dimana sesekali para tamu juga memeluknya dengan perasaan duka. Namun tak ada respon dari anak tersebut, hanya memandang kosong yang mungkin para tamu menganggap anak tersebut hanya sedang bingung dan tak mengetahui apa yang terjadi.

Berbeda dengan dua anak yang berada disampimg mereka. Mereka menangis kencang tanpa menutupi apapun hingga air mata mereka dapat membasahi celana bagian paha mereka. Isakan mereka terdengar yang terkadang diselingi dengan suara serak mereka yang memanggil ibu dan ayah mereka. Seorang pria mendekati mereka, pria yang terlihat berumur diakhir dua puluhan.

Voice Later [Book 2] ✔️Where stories live. Discover now