Aku melihatnya dan dia masih menunduk. Enggan mengutarakan perasaannya yang pastinya akan menyakiti hatiku dengan sangat.

Aku sudah tak kuat, akhirnya air mata ini menetes juga saat aku mengembalikan tatapanku ke depan. Aku menggigit bibir bawahku, tak ingin menimbulkan suara.

Melihatnya orang yang kucintai terpuruk, bersamaan dengan kenyataan yang terjadi membuatku tumbang seketika.

"Kalau kau menyakitinya, seperti kau menyakitiku. Takkan kuberi ampun, kau akan mati di tanganku!"

Aku bangkit, lalu berlari meninggalkannya sendirian di taman.

Meninggalkannya disiksa oleh rasa bersalah karena tak mendapat balasan maaf dariku.

Kau sungguh kejam, Jeon Jungkook!
















***

Aku berlari menuju housemate. Entah sejauh apa jaraknya sampai membuat kakiku pegal bukan main, aku tak peduli. Aku yang dianggap orang gila sepanjang jalan karena menangis keras pun, aku tak peduli!

Orang lain takkan mengerti perasaanku.

"Kenapa ... kenapa semuanya kacau begini?!" tanyaku mengusap air mata berkali-kali, karena tak mau berhenti barang sebentar saja. Sesak yang memenuhi ruang dadaku terkikis perlahan saat aku menangis dan terus mengutuk Jungkook dalam diam.

Keadaanku hancur sehancur-hancurnya. Aku meracau sepanjang jalan, masih tak terima dengan apa yang takdir berikan.

Sungguh jahat! Takdir begitu jahat padaku!

PUK!

Aku menubruk seseorang di dekat housemate. Aku menubruk dadanya dengan masih sesegukan. Bukannya menjauh, orang yang aku tubruk malah memelukku erat.

"Siapa kau? Lepas!" pekikku lemas sambil mendorong dadanya. Dia bergeming, masih menenggelamkan wajahku di tubuhnya.

"Ini Chanyeol," ujarnya dengan suara berat, membuatku berhenti meronta. Aku langsung meremas kemejanya kuat-kuat, lalu menangis makin keras. "Aku kekasihmu Mi Ra, Park Chanyeol."

















***

Dinginnya udara kali ini, aku tebak ini udara pagi. Menyejukkan dan mengisi ruang dada yang kemarin malam sesak entah oleh apa. Aku membuka mataku perlahan, dan mendapati diriku sendiri ada di dalam kamar Chanyeol.

Sinar matahari sudah masuk ke dalam kamar, membangunkanku dengan caranya sendiri.

Tak lama, sosok yang selalu aku sayang masuk ke dalam kamar dengan membawa wadah. Dia tersenyum mendapatiku sudah bangun dari ... apa? Tidur? Aku sejak kapan tidur?

"Kau sudah bangun? Panasmu bagaimana?" tanyanya memegang keningku memeriksa. "Ahh, masih belum turun."

"Ayah, kenapa kita di sini?" tanyaku dengan suara serak, memperhatikan pergerakan Ayah yang mengompresku.

"Kemarin kau pingsan di depan rumah Chanyeol, jadi dia membawamu ke rumahnya. Saat Ayah mencoba menghubungimu, Chanyeol datang dan memberitahu keberadaanmu. Makanya Ayah menginap di sini," jelasnya dan aku hanya mengangguk pelan. "Ya ampun, ada apa dengan matamu?"

"Mataku?" tanyaku pelan sambil meraba mataku sendiri. Ahh, pasti karena kemarin banyak menangis. "Biasa ..."

Ayah mencubit pipiku gemas, "Kau ini kenapa, sih? Masih belum mau cerita?" Aku menggeleng sambil terkekeh pelan. Aku tak ingin membuatnya khawatir. Lalu tak lama datanglah Chanyeol ke kamar.

"Kau sudah bangun?" tanyanya dan aku hanya diam. Mengalihkan pandanganku pada Ayah. Dia berdecak melihat reaksiku.

"Ayah pulang dulu, ya. Mandi sebentar sambil membuatkan sarapan terus ke sini." Aku merenggut, namun begitu, Ayah tetap pulang dan meninggalkanku berdua dengan Chanyeol. Dia mendudukkan dirinya di pinggir kasur dan menatapku, memperhatikan.

"Apa?" tanyaku ketus sambil menarik selimut agar menutupi wajahku yang sangat kacau. Tapi, Chanyeol mencegahnya. Tanpa dosa, dia menidurkan dirinya di samping kananku. "Kau mau apa, sih?"

"Tidur," jawabnya menarik selimut dan menyamankan posisinya. Ck, menyebalkan. Haruskah aku keluar saja dari rumahnya?

Iya, kalau aku kuat!

"Kau habis patah hati, ya?" tanyanya membuatku menendangnya di bawah selimut sana. "Ya ampun, aku hanya bercanda!"

"Kau sedang mengajakku bercanda?" tanyaku penuh penekanan dan dia menggeleng takut. Kami terdiam, aku nyaris menutup mata lagi karena masih tak enak badan, kalau saja Chanyeol tak membuka suaranya.

"Kita berdua patah hati," ujarnya pelan, aku hanya diam sebagai respons. Tak lama dia tidur menghadapku yang sibuk memandang langit-langit kamar. "Kalau kita rubah patah hati ini bersama, bagaimana?"

Aku menoleh padanya, mengerutkan kening sebagai bentuk tanya. Dia hanya tersenyum, lalu meraih tanganku untuk digenggamnya.

"Jadi seperti ... cinta?"


















🍃🍃🍃

I'm (not) a PlayerDonde viven las historias. Descúbrelo ahora