Di musim dingin, tepatnya bulan Desember ini. Entah kenapa aku tiba-tiba ingat salah satu ucapan yang mungkin tak banyak orang perhatikan dari seorang wanita hebat yang dikenal dengan nama Oprah Winfrey.
Dia mengatakan bahwa cerita Cinderella sebenarnya merusak mindset perempuan. Seharusnya kaum kami tetap berjuang untuk melawan hidup, bukan menunggu pangeran datang dengan membawa sepatu kaca.
Aku setuju, bahkan sangat setuju!
Aku melawan kerasnya hidup di negeri Ginseng ini dari hari ke hari, untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tapi sialnya, pagi tadi si lelaki setinggi tiang itu merusak tataan masa depanku.
Kenapa?
Pertama, dia mencuri waktuku. Aku sungguh benci orang yang membuang-buang waktu, karena ada banyak yang harus aku kerjakan demi mencapai hidup yang lebih baik itu!
Café yang seharusnya aku buka tepat pukul 7 pagi itu, jadi telat 9 menit 12 detik karena harus membangunkan sekaligus memberikan kata-kata bijak padanya. Walaupun aku tak yakin apakah itu akan masuk ke dalam otaknya yang sudah berhenti bekerja karena kebanyakan minum atau tidak.
Yang kedua, dia dengan berani dan tak tahu dirinya malah melakukan hal yang menyebalkan. Bukannya berterimakasih karena aku sudah membangunkan dan memberikannya nasihat, dia malah menunjukku tepat di depan wajah, memasang ekspresi geram yang aku tak tahu kenapa, sambil berkata dengan lantang,
"Dasar kuno!"
Sampah memang mulutnya!
Kugibaskan rambut panjang berwarna coklatku dengan sedikit kesal. Bagaimana tidak? Kejadian pagi tadi benar-benar bikin darah rasanya naik ke ubun-ubun! Harusnya aku sumpahi saja dia mati sekalian, apa gunanya memberikan petuah bijak pada Player sepertinya?!
Sialan!
"Hei, marah pada orang lain bukan berarti melampiaskannya di sini, oke?" tanya seseorang menghentikan aksi kekesalanku sesaat. Aku menatapnya tajam, sedangkan sang empu hanya membalasku dengan ekspresi datar dan malas. Cih, pasti ketularan tunangannya yang pendek itu.
"Bisa kau tutup mulut berbisamu itu, Mia?" tanyaku tajam pada Mia, si gadis blasteran Korea-Indonesia sama sepertiku. Anak perawan berambut sebahu itu menatapku pasrah, dia memang paling sabar kalau emosiku sudah naik melebihi tingginya gunung Everest.
Sekilas info saja, mungkin tadi kalian mengira aku adalah seorang pelayan di café bernama "Tosca" ini. Salah besar! Walaupun aku dan temanku mempunyai pekerjaan masing-masing, seperti Mia yang bekerja sebagai make-up artist..
Intinya aku dan Mia adalah pemilik bahkan pendiri café ini, catat itu!
Kau tahu sendiri, mengandalkan satu pekerjaan tidaklah cukup di zaman sekarang. Maka dari itu, aku dan Mia mendirikan café ini. Selain memberikan peluang kerja pada orang lain, kami juga mendapat uang sisihan.
Baiklah, cukup.
"Aku tak mau tahu apa urusan menyebalkan yang terjadi pagi tadi, yang jelas jangan melempar asal lap di depan pengunjung. Kau mau café kita ini bangkrut karena pemiliknya sangat tidak beretika?" omelnya setelah menyaksikanku, melempar lap ke daerah dapur dengan ganas.
"Player sialan! Aku sebal padanya! Aku tidak kuno!" makiku sambil mengambil lap baru dan memilinnya dengan penuh dendam. Kuno darimana? Aku sangat stylish berkat Mia! Matanya katarak atau bagaimana sih?!
"Daripada itu, tadi pagi saat kau meninggalkanku, Ibumu menelfon. Katanya datang ke kantor untuk bertemu dengan Pimred," jelas Mia sambil melepaskan celemeknya dan bersiap pergi. "Aku juga ada job di Teater, bye!"
YOU ARE READING
I'm (not) a Player
FanfictionTerlibat dengan seorang Lesbi dan Gay, lalu merumitkan hidup si tokoh utama. Sebuah kerumitan yang mengharuskan aku dan dia untuk terus bersama sampai tak ingin saling melepas. "I'm-NOT-a-Player, okay?" 📍cover by: Irishlevyona 📍10 November 17 - 2...
