Bagian Dua puluh

580K 41.9K 2.7K
                                    

Hujan turun dengan derasnya mengguyur kota bersamaan dengan air mata Allfred yang lolos dari pelupuk matanya. Awan putih yang tadinya terlukis indah di birunya langit digantikan dengan gumpalan awan hitam pembawa air hujan. Suara petir terdengar saling bersahutan bersamaan dengan kilatan cahaya, suara Guntur menggelar membuat suasana semakin mencekam saja.

Di tengah guyuran hujan yang begitu derasnya, Allfred duduk bersimpuh di sebuah jembatan tua yang jarang dilalui orang. Ia menunduk lesu, membiarkan tubuhnya diguyur hujan. Ia tak peduli dengan serangan hujan yang terus saja menimpa dirinya.

Hancur, hatinya hancur dengan sebuah kenyataan yang menghantam ulu hatinya. Memang inilah hukum kenyataan yang kadang menyakitkan. Saat apa yang diharapkan tak sesuai dengan kenyataan yang diterima.
Mau menyalahkan siapa jika sudah seperti ini? Takdir? Apakah masih pantas untuk menyalahkan takdir?

Allfred menengadahkan kepala, membiarkan wajahnya diterpa air hujan. Beberapa kali ia mengedipkan mata saat kedua bola matanya terasa perih saat air hujan memaksa masuk.

"Mengapa kau melupakan semuanya, Bella? Mengapa?" gumam Allfred lirih.

Tersirat sebuah kekecewaan yang teramat dalam dari suara yang lolos dari bibir Allfred.

Allfred menghela napas, kembali menunduk dan mengingat semua memori yang ia simpan begitu rapi dalam hidupnya.

Allfred  bergerak gesit sembari memainkan pedang di tangannya. Memukulkan pedang yang ia genggam ke udara, seolah ia tengah melawan musuhnya. Ia terlihat begitu bersemangat mengasah kemampuan memainkan pedangnya.

Dengan memainkan pedangnya di hutan yang ada di bumi, menjadi suatu hiburan tersendiri bagi Allfred yang otaknya begitu penat dengan tugas hafalan ribuan mantera sihir dan beberapa kitab yang mengharuskan dirinya untuk mempelajari isi dari kitab itu untuk bekal menjadi penerus tahta kerajaan yang tengah di emban sang ayah.

Seorang pangeran yang berbakti kepada kedua orangtuanya, Allfred tidak pernah membantah apa yang ditetapkan sang ayah. Seperti belajar ribuan buku yang akan menyita hampir seluruh waktunya. Ia tahu, ayahnya melakukan itu semua demi dirinya yang akan menjadi seorang raja.
Seorang raja harus mempunyai bekal cukup untuk tugas yang akan diembannya, bukan hanya sekadar untuk kehormatan semata.

Allfred menghentikan gerakan kaki dan juga tangannya saat ia merasa sedikit kelelahan. Kedua kakinya mengayun menuju kayu besar yang selalu ia gunakan sebagai tempat istirahat. Ia langsung meneguk air minum yang sudah ia bawa sebagai bekal.

Tak butuh waktu lama, air bekalnya sudah habis diminumnya.

"Bella, nama yang bagus," gumam Allfred saat mengingat seorang gadis manis yang ditolongnya kemarin.

Gadis dengan rupa menawan, senyum tulus yang memabukkan, dan tatapan penuh kasih sayang yang telah ia selamatkan nyawanya. Pertemuan singkat yang menjadi pertemuan pertamanya.

Allfred berharap, ia akan bertemu untuk yang kedua kalinya dan jika diizinkan ia akan selamanya bertemu dengan gadis itu.
Jika biasanya Allfred turun ke bumi seminggu sekali, kini Allfred sudah kembali ke bumi. Padahal baru kemarin ia menginjakkan kaki di bumi. Rasanya ia ingin mencari peluang, agar ia bisa bertemu dengan Bella kembali.

Ia lantas berdiri tegap mengayunkan kedua kakinya menuju sumber suara nyanyian.

Dalam satu kali lompatan, ia berhasil bertengger di sebuah pohon besar yang dahannya cukup kuat untuk tempat ia berpijak.

Dari pohon itu, Allfred bisa melihat dengan jelas segerombolan anak perempuan remaja mengenakan atasan cokelat muda dan rok berwarna cokelat tua. Nampak mereka begitu kompak berjalan berurutan sembari bersenandung ria, memegang tongkat dengan satu orang yang sepertinya adalah sang ketua, membawa tongkat dengan berbendera simbol tunas kelapa.
Allfred menarik senyum, ia yakin. Sangat teramat yakin. Satu dari sepuluh anak remaja itu adalah Bella. Dengan rambut dikucir satu di belakang dan senyum menawan yang begitu Allfred kenali.

POSSESSIVE DEVILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang