4 - Satu Meja Untuk Berdua

Mulai dari awal
                                    

Dika hanya terkekeh sebentar, reaksi Epeng dan Pram yang menurutnya berlebihan mengocok perut Dika. “Nggak tahu, ya...? Tapi aku sama sekali nggak merasa kedatangan musibah...” ada selengkung senyum tipis di bibirnya.

Bel masuk berbunyi nyaring. Dika berjingkat, lalu berjalan ke arah kelasnya cepat-cepat. Epeng dan Pram yang ditinggalkan begitu saja saling lirik dengan satu alis terangkat. Sama-sama mempertanyakan kenapa Dika tampak sangat bersemangat?

💧💧💧💧

Sena bersedekap dada di pojok toilet sekolah. Sudah sejak tadi ia berdiam disana. Air dalam bak terlihat tenang tanpa lingkar-lingkar menyebar. Menandakan gadis itu tidak menyentuh air sama sekali. Untuk apa? Tujuan Sena masuk ke bilik toilet kan memang hanya untuk bersembunyi dari teman sebangkunya. Menghindari laki-laki yang terus berusaha mengajaknya bicara ketika di kelas tadi, juga semua pertanyaan dari mulut cerewetnya.

“Dia itu... siapa namanya tadi?” Sena menopang dagu, mengingat-ingat, “Ah, ya, Kaka!” untunglah panggilan itu cukup mudah. Cuma dua suku kata, suku kata kembar pula. Kalau saja namanya sedikit lebih susah, Sena pasti sudah lupa karena sebetulnya ia rasa tidak terlalu penting juga untuk mengingat nama itu.

“Sekarang dia pasti makin ingin tahu soal aku... dia pasti bakal ungkit-ungkit kejadian di jembatan...”

“Arrggh!! Kenapa sih aku harus berurusan lagi sama orang cerewet itu?!” Sena menendang tembok berlapis keramik putih di depannya dengan ujung sepatu. Memikirkan hal-hal yang lebih jauh tentang pertemuan keduanya dengan laki-laki yang memperkenalkan diri sebagai Kaka itu membuat Sena ingin pindah sekolah saja. Seumpama bisa...

Pintu diketuk dari luar, Sena membuka pintu, lalu menarik diri keluar. Ada yang mengantre ingin buang air, walaupun sebetulnya masih ingin berlama-lama, Sena putuskan untuk mengalah, memberikan tempatnya karena bilik-bilik lain penuh ditempati. Kebetulan bel masuk juga sudah berbunyi. Kembali ke kelas harus Sena lakukan meski sama sekali gadis itu tak punya keinginan.

Orang-orang yang masih berada di luar kelas memperhatikan langkah berat Sena. Banyak yang ingin tahu kenapa si murid baru terlihat begitu tak bersemangat. Beberapa siswa berceletuk menggoda, minta disuguhi senyum katanya. Sena tidak meladani sama sekali. Nyebelin! Banyak laki-laki norak di tempat ini!

Segerombolan siswi sebaliknya, lirikan mereka banyak yang sinis, tidak sedikit yang langsung berbisik-bisik pada temannya, bicara hal-hal yang berbau ‘sok tahu', begitu manusiawi, mereka seenaknya menilai sebelum mengenal. Komentar pedas mengenai penampilannya yang khas metropolitan sempat menyentil gendang telinga, tapi kali ini Sena memilih untuk diam. Bukankah itu semua hanya reaksi dari orang-orang iri, juga... yang takut tersaingi tentang sesuatu?

Mereka coba bikin aku terintimidasi karena sekarang aku sendirian... begitulah Sena menyimpulkan keadaan.
Gadis itu mempercepat langkahnya, Kayaknya aku harus cepat berteman sama beberapa orang yang dikelilingi reputasi. Dengan begitu aku nggak akan jadi murid baru terlalu lama...

💧💧💧💧

Wanita berkacamata minus itu berkeliling kelas dengan sebilah penggaris panjang di tangan. Kebiasaannya memang begitu, mengawasi anak didik dengan memasang tampang garang supaya tidak ada yang berani menyepelekan. Termasuk untuk hal sesederhana menyalin catatan di papan ke buku. Siswa-siswi yang kurang sopan memanggil Bu Ummah dengan sebutan nenek lampir, tentu saja di belakang orangnya.

“Mau pinjam Tipe-X?”

Sena melirik ke sampingnya, hanya dua detik, kemudian kembali menekuni catatan. Cara gadis itu menulis menggambarkan perasaan jengkel. Sena capek sendiri menghadapi teman sebangkunya. Laki-laki itu sedari tadi menawarinya ini itu. Pensil, penghapus, bolpoin, Tipe-X, entah apa lagi habis ini.

“Kamu benar-benar nggak mau pinjam Tipe-X? Kalau dicoret-coret begitu... tulisan kamu jadi nggak rapi loh.”

Sekali lagi, tawaran itu tak digubris oleh Sena. Ia tetap mencoret bukunya bila ada kesalahan.

Dika mengulum senyum, “Kamu nggak perlu sungkan-sungkan dengan saya, Nana...”

Kali ini Sena langsung menoleh penuh, “Namaku Sena! Bukan Nana!” Tegasnya. Sorot matanya yang tajam memperingatkan pada laki-laki yang sejak tadi terus memanggilnya dengan nama Nana itu agar membetulkan kekeliruannya.

“Sena bagus. Tapi saya lebih suka panggil kamu dengan nama Nana. Lebih mudah, lebih... akrab?”

“Terserah!” ketus Sena. Gadis itu tak tertarik berdebat dan banyak bicara. Terutama, dengan orang-orang yang tak ia sukai.

Satu-satunya hal aneh disini adalah tentang senyuman Dika. Seakan ia sangat menyenangi sikap dingin dan ketus yang Sena tunjukkan. Malahan sekarang, Dika dengan sengaja menggeser bukunya ke wilayah meja yang seharusnya menjadi hak Sena. Posisi duduknya sudah tidak lurus, melainkan sedikit menyamping. Lekukan siku Dika memakan banyak tempat. Dika tidak pernah iseng selain dengan Pram dan Epeng sebelumnya. Tapi kali ini ia melakukannya pada gadis yang baru ia jumpai dua kali. Entahlah, Dika hanya ingin bisa bicara dengan teman sebangkunya yang cuma buka mulut saat merasa kesal itu. 

Awalnya Sena diam, tidak peduli dan menggeser bukunya menepi. Terus menepi sampai ia benar-benar terpojok karena semakin ia mengalah Dika tidak mau berhenti memonopoli. Sambil mendengus Sena melotot pada Dika. Mengatakan, “Cukup main-mainnya!” tanpa bersuara.

Sekuat tenaga Sena mendorong lengan dika, memaksa laki-laki itu menjauh, sebal yang tidak tertahan Sena lampiaskan dengan cepat-cepat menyingkirkan buku Dika. Selanjutnya, berbekal Tipe-X milik Dika, Sena membuat garis pemisah tepat di tengah-tengah meja, membagi bidang datar berbahan kayu itu menjadi dua wilayah yang sama rata. Serius. Sistem satu meja untuk dua siswa di sekolah barunya ini betul-betul menyebalkan.

“Sebelah kiri hakku. Dan sebelah kanan, hakmu. Jangan berani-beraninya melanggar batas ini!” Sena mendikte. Berharap laki-laki di hadapannya tidak terlalu sulit untuk dibuat mengerti.

Kali ini Dika diam saja. Yang terdengar justru...

PLAAKK!!

Suara penggaris yang Bu Ummah hantamkan ke atas meja membuat Sena terlonjak kaget. Satu kelas ikut menoleh ke sumber suara.

“Apa-apaan ini?! Siapa yang memperbolehkan kamu mencoret-coret meja seenaknya?! Cepat bersihkan!” titah sang guru. Sekali lagi ia menghantamkan penggaris ke meja Sena. Dan untuk yang kedua ini gadis itu masih tidak bisa menghindar dari keterkejutan. Ia mengumpat di dalam hati ketika Bu Ummah berlalu.

Sena menoleh saat tangan kanan berhias gelang karet hitam itu tiba-tiba menyodorkan sebuah cutter ke hadapan wajahnya. Dika tersenyum sambil mengangkat sebuah cutter lagi dengan tangan kiri, “Ayo bersihkan meja kita sama-sama!” serunya.

Sena langsung menendang pijakan kaki di bawah meja. Meja kita?! Batinya sambil bergidik sendiri.

💧Lovakarta💧

Ayii: Gue dpt teman sebangku cowo tp kok jauh bgt ya sama Dika *lah curhat*😆

Semoga cerita kaku ini menghibur ya!!

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang