Chapter 28~ Hurt

179 16 0
                                    

~Andrea~

Setelah mencoba menelphone salah satu nomor yang terakhir kali kutelphone, aku menunggu sambil melihat id Rafa yang keluar di sana. Sambil mencoba menenangkan diriku dan melawan setiap memori yang mulai muncul aku menunggu Rafa untuk menjawab telphonennya. Petir kembali menyambar dengan hebatnya. Kenangan masa kecilku terus mendesak masuk dan berhasil tereka kembali dalam ingatanku.

Petir menyambar dengan hebatnya ke arah pohon dan menyebabkan pohon itu tumbang. Secara otomatis papa menghindar dari pohon itu. Secara refleks aku berteriak ketika papa membanting stir untung menghindar pohon yang tumbang secara tiba-tiba. Aku kembali mengingat memori itu dengan sangat jelas. Aku melihat keluar jendela dan melihat mobil berputar-putar karena tergelincir. Akhirnya mobil berhenti ketika menabrak salah satu tembok pembatas jalan.

Badanku terlontar ke depan akibat kecepatan mobil yang tergelincir dengan cepat. Benturan dengan tembok membuat sebuah gaya yang mendorongku kembali ke belakang dengan cepat, dan aku yakin sekali hal itu melukai punggungku. Untung saja kali itu aku mendengarkan mama untuk menggunakan seat belt, sehingga saat terdorong ke depan aku tidak sepenuhnya terlontar menuju bagian depan.

Dorongan itu mengakibatkan kita kehilangan kesadaran selama beberapa menit. Aku baru saja mendapatkan penglihatanku secara normal setelah mengerjapkan mataku beberapa kali dan melihat sebuah cahaya yang datang ke arah kami dengan cepat di tengah hujan lebat. Tidak sampai sedetik sebuah truk besar menabrak kami.

Dengan cepatnya truk itu menabrak tepat di bagian belakang tempat aku berada. Mobil kami terdorong cukup jauh setelah tertabrak. Dan saat itu aku masih mengingat semuanya menjadi slow motion. Kaca-kaca yang pecah mengenai tubuh kami. Bagian mobil yang penyok menjepit tubuhku. Gerakan-gerakan yang membanting tubuhku ke depan ke belakang. Semuanya benar-benar terjadi secara lambat.

Aku dapat melihat ke dua orang tuaku yang sudah kehilangan kesadarannya. Entah mengapa aku masih dapat melihat semua adegan ini. Aku bisa bertahan tanpa kehilangan kesadaranku merupakan hal aneh yang benar-benar tidak bisa kumengerti sampai sekarang.

Pecahan kaca berserakan dan beberapa menancap pada tubuh kami. Darah mengalir dimana-mana terbawa derasnya aliran hujan. Kondisi kedua orang tuaku cukup parah saat itu namun tidak separah diriku. Hampir seluruh tubuh bagian bawahku terjepit.

Rasa sakit menjalar dengan cepat ke seluruh tubuhku. Rasanya ingin sekali mennagis dan berteriak namun tidak bisa. Semua kejadian dan rasa sakit ini membuatku lelah. Bahkan untuk membuka mulutku saja susah. Rasa sakit itu beralih menjadi sebuah rasa yang sangat dingin. Bahkan mungkin sebentar lagi aku rasa aku akan meninggal. Aku mengeluarkan banyak sekali darah. Rasa dingin yang menjalar di seluruh tubuhku membuatku menjadi tidak dapat merasakan apa-apa. Semenjak hari itu aku membenci dingin.

Kesadaranku menghilang tepat setelah aku mendengar bunyi ambulan dan beberapa orang yang berteriak di sekitar kami. Hal yang terakhir kuingat adalah aku berjalan ke arah cahaya yang sangat terang.

Kenangan-kenangan itu lama-kelamaan memudar, namun rasa sakit, kedinginan dan kesulitan bernafas masih menempel dalam tubuhku. Nafasku masih tercekat, tubuhku sama sekali tidak bisa kurasakan dan kugerakan. Entah berapa lama aku terbaring lemah di sini. Otakku benar-benar tidak berfungsi saat ini. Aku kehilangan semua panca inderaku. Yang bisa kurasakan saat ini adalah rasa dingin yang menjalar ke seluruh tubuhku. Nafasku benar-benar tercekat saat ini.

Tak lama kemudian aku merasakan sebuah guncangan di bahuku. Namun aku masih tidak dapat membuka mata dan semua inderaku masih belum kembali sepenuhnya. Aku mencoba menggerakan tangan dan berhasil. Aku segera memegang leherku untuk membantuku bernafas sementara tangan lainnya mencoba menggapai seseorang yang ada di depanku. Aku benar-benar tidak tahu siapa itu.

Prolog✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang