"Halo," jawabku selembut mungkin.

"Halo Lis, kamu lagi dimana?" Tanyanya. Dengar suara Saga emosiku menguap begitu saja.

"Eh? A-aku lagi di apartemen," Please kamu nggak lagi di depan pintu apartemen aku, kan?

"Hmmm, kalo kamu nggak sibuk, saya pengen ajak kamu ke rumah yang akan kita tinggali setelah menikah," Saga pernah bilang akan mengajakku ke sana.

"Aku nggak sibuk kok," jawabku cepat sambil menggaruk kepalaku yang sudah 3 hari belum dicuci. Gatalnya minta ampun.

"Aku jemput sekarang, ya?"

"Jangan!" Kataku setengah berteriak. Aku kan belum mandiiii! Dari apartemen Saga ke sini hanya 1 jam. Apalagi libur gini jalanan sepi, paling cuman 40 menit. Mana cukup buat mandi plus dandan dan mengeringkan rambut.

"Ya sudah, kalo kamu udah siap, WA saya saja,"

Fyuhhh, syukurlah "Iya nanti aku info kamu. Bye,"

Begitu sambungan telpon terputus aku segera melesat ke kamar mandi.
***

Kami sedang dalam perjalanan menuju rumah yang akan aku tinggali  bersama Saga setelah menikah. Aku tidak bisa membayangkan harus serumah dengan Saga. Pasti akan sangat kikuk. Aku tidak bisa bangun siang, tidak bisa buang sampah serta dalaman sembarangan, dan tidak bisa telanjang sambil nonton Netflix.

"Ngelamunin apa?" Suara Saga menyadarkanku dari pikiran yang sedang berkecamuk. Aku hanya menggeleng dan tersenyum tipis.

"Kamu... Agak gelap," aku merujuk pada kulitnya yang agak 'gosong'.

"Hehe, iya saya banyak berenang di pantai. Kebetulan tempat tugas kemarin di pinggir pantai," hmmm pantas nggak ada kabar. Asik main ke pantai sih. Kalo saja Saga pacarku, sudah aku tatar dia saat muncul di apartemenku. "Kamu suka pantai?"

"Biasa aja. Kalo lagi senang aja baru ke pantai," Jawabku. Aku ke pantai terakhir di Hawaii, pas gathering sekitar setahun lalu. Sementara yang lain melakukan layaknya aktifitas di pantai. Aku lebih memilih malas-malasan di kamar jika acara bebas. Sudah ku bilangkan aku tidak terlalu suka wisata yang berbau alam.

"Dulu, sebelum ayah meninggal, saya selalu diajak ke pantai setiap hari Minggu. Rumah kami yang dulu dekat pantai, jadi tinggal jalan kaki 15 menit saja," Saga tiba-tiba bernostalgia. Pantai sepertinya punya kenangan tersendiri bagi ayahnya dan juga dirinya. Ekspresi Saga berubah saat menceritakan tentang ayahnya. Aku pun sampai sekarang belum tahu kenapa ayahnya meninggal.

"Ngapain aja kamu sama Ayah?" Tanyaku hati-hati. Aku tidak membuatnya sedih kan?

"Banyak. Mulai dari berenang, menyelam, mancing, main pasir," terlihat Saga menerawang, kemudian beralih menatapku. "Tapi sejak Ayah meninggal, kemudian sibuk kuliah, saya mulai jarang ke pantai. Makanya kemarin saya puas-puasin main di pantai."

"Terlalu asik main sampai nggak ngasih kabar," cebikku pelan

"Kamu ngomong apa tadi?" Kok, dia dia dengar?

"Aku nggak bilang apa-apa kok," jawabku dan mengalihkan pandangan keluar jendela mobil. Saga pun kembali konsentrasi menyetir.

Sekitar satu setengah jam kami akhirnya sampai di kompleks perumahan Saga yang baru. Memang agak jauh dari apartemenku, tapi baiknya lebih dekat 30 menit ke kantorku. Ke rumah sakit tempat Saga dinas pun sekitar 45 menit.

Kemudian kami berbelok ke blok Europ Style, aku sempat baca di papan petunjuk jalan. Mungkin di blok ini semua tipe rumahnya Eropa, ya?

"Nah, sudah sampai," kata Saga sambil melepaskan sabuk pengaman dan bergegas keluar. Aku pun segera mengikuti tepat di belakangnya.

Are We Getting Married Yet?Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt