25. Bukan perpisahan yang menyakitkan, tapi semua kenangan yang menyertainya.

19.7K 2.9K 812
                                    

"Kakak kok belum tidur? Besok bis berangkat jam berapa?" tegur AJ saat melihat Ardi masih berdiam diri di dapur walau sudah mengenakan piyama bertema bulan dan bintang.

Memang dia sudah terlalu besar untuk mengenakan piyama model kartun seperti itu. Salahkan Nash yang selalu minta pakaian kembaran dan dua kakaknya hanya bisa pasrah.

"Baru jam setengah sepuluh, Pa. Papa kok belum tidur?" Ardi balas bertanya sambil mengacungkan segelas susu coklat yang sedang diminumnya.

"Tunggu Bunda pulang. Katanya 10 menit lagi baru bisa keluar dari RS."

"Takut tidur sendiri?" ledek Ardi sambil menyeringai jahil.

"Ga biasa kalau Bunda ga ada," jawab AJ singkat.

Padahal niatnya bercanda, tapi jawabannya malah bikin baper. Ardi menggeleng-gelengkan kepala, menegak susu coklatnya sampai habis.

"Nash masih aja ngambek." Ardi mengadu.

"Anak Gracie banget deh. Dulu Bunda kamu juga begitu pas Papa tinggal ke MIT."

AJ beranjak ke tempat penyimpanan wine, mengambil gelas dan menuangkan untuk dirinya sendiri sebelum duduk berhadapan dengan Ardi.

"Chateau lafite 1865, hadiah dari client. Mau nawarin kamu, kalau ketahuan Bunda, Papa bisa diusir ke luar kamar."

"Aku ga mau jadi perusak rumah tangga, Pa. No thanks. Eh, tadi Papa bilang, Bunda begitu juga? Ngambek ga jelas kayak Nash?"

AJ mencicip wine-nya sedikit sebelum menjawab. "Yah, kurang lebih mirip. Ga mau jawab telpon, disamperin ke rumah hampir setiap hari sebelum Papa berangkat tapi dia diam aja. Ditanya selalu jawab, ga papa, tapi matanya bengkak kayak orang nangis semalaman.

Bikin ngilu hati! Kan ga mungkin dibawa juga, Grace masih SMP, dibacok Opa kamu nanti!

Ardi tertawa sendiri membayangkan bundanya yang biasa datar tiba-tiba galau.

"Berat ya, Pa?"

"Banget! Apalagi saat Papa sadar kalau dia tujuan hidup Papa."

"Papa kayak pedofil!" sahut Ardi sambil memicingkan mata.

"Hey! Papa baru pacaran sama Bunda saat Bunda udah kuliah. Papa juga sadar diri, Di!"

Ardi memutar-mutar gelas kosong, sibuk berpikir sendiri.

"Kalau seberat itu, kenapa Papa tetap pergi?" tanyanya tiba-tiba.

AJ kembali menuang sedikit wine sebelum menjawab. "Hmmm karena Papa udah tau apa yang Papa mau. Sudah tau itu tempat terbaik untuk belajar bidang yang mau Papa tekuni. Dan semua pilihan berat yang harus diambil itu ujungnya tetap bermuara ke satu tujuan.

Her... I want to make her proud. I want to be success for her... for our future."

Ardi terdiam, meresapi ucapan Papanya.

"Walau saat ini sih bisa bilang, Papa tidak menyarankan hubungan jarak jauh ya. Ditinggal nikah itu nyesek!"

Tawa Ardi pecah. "Masih sensi ya, Pa... orangnya udah lama ga ada juga tetep aja sensi."

"Yah, ada beberapa luka yang ga bisa sembuh. That asshole!

Upsss... Sorry...."

"Aku ga denger apa-apa. Tadi kayak ada suara kresek-kresek pas Papa ngomong," balas Ardi.

"To be fair, dia sudah membesarkan kamu dengan sangat baik, he love your mom, treat her well, and gave me Aska in return. May he rest in peace."

My Favorite Person!Where stories live. Discover now