11. Bisa berhenti bikin baper ga, Di?

16.5K 2.3K 644
                                    

Sita datang terlalu pagi ke sekolah. Dia tak tahan berlama-lama di dekat mamanya dan mencoba bersikap seceria mungkin padahal yang ingin dia lakukan hanya memeluk mamanya erat dan menangis kencang.

Dia mencoba terlihat santai walau pelukan dan ciuman di pipi sebagai salam berpamitan berlangsung lebih dari 3 menit tak seperti hari-hari biasanya yang hanya butuh waktu 3 detik.

Sita menyenderkan kepalanya di atas meja, masih berjuang menahan tangis. Di sekolah, hanya Ardi dan guru wali kelasnya yang tahu akan penyakit mamanya dan dia tak ingin menambah daftar nama orang-orang prihatin lainnya.

Suara benda yang diletakkan di atas meja menarik perhatian Sita. Tupperware warna biru, dapat dipastikan pemberian pria berkacamata yang sekarang sedang merapikan bukunya di meja sebelah.

Sita mengambil kotak makan itu ragu-ragu, membuka isinya dan tertawa melihat roti berbentuk hello kitty dan juga berbentuk hati.

"Roti keju coklat. Sorry kalau bentuknya kelewat girly, tadi buatnya bareng sama Nash. Pakai cetakan khusus punya dia. Aska juga kesal diminta bawa bekal bentuk lope-lope."

Sita kembali tertawa membayangkan si Bule kesal. "Tapi tetap dibawa sama Aska?"

Ardi mengangguk. "Yang bisa nyuruh-nyuruh Aska itu hanya Nash, yang lain lewat."

"Makan aja, pasti kamu ga kepikiran buat sarapan. Sempat tidur ga?" lanjut Ardi setelah dia menggeser bangku dan duduk di dekat Sita.

Sita mengambil roti berbentuk hati, sesuai tema dan harapan, bukan hanya roti yang diberikan Ardi, tapi hatinya juga.

Kalau Ardi tahu isi kepala Sita yang kelewat baper gini, pasti itu tupperware langsung dibawa lari.

Sita menggigit rotinya pelan. Dia memang belum sarapan, perutnya terasa kenyang dengan emosi. Kalau Ardi tak sedemikian perhatiannya, Sita pasti lupa makan.

"Gue ga bisa tidur." Sita mengaku setelah menghabiskan satu tangkup roti.

"Kepikiran terus-terusan. Katanya waktu mama cuma 6 bulan lagi. Gue bisa apa kalau cuma 6 bulan, Di? Ngasih mantu aja ga bisa, apa kabar ngasih cucu?"

"It's just a number. Jangan peduli sama angka 6 bulannya itu. Tekad dan pikiran positif bisa mengalahkan segalanya, Sita."

"Gue bisa bilang, 'Ma, yang tegar, yang kuat, jangan tinggalin Sita...' Tapi gue juga ga tega kalau Mama sudah merasa benar-benar lelah. Egois ga sih kalau gue mau dia hidup selamanya?"

Ardi menggeleng. "Ga egois sama sekali."

Sita menghela napas berat. "Gue harus cari vampir di mana, Di? Biar Mama tetap sehat. Gue rela deh kalau Mama bling-bling tiap kena sinar matahari dan jauh lebih kece dari gue."

Ardi tergelak. "Kamu tuh ya... ada ga sih yang bisa ngerubah kamu?"

Sita menunduk, berkata dalam hati, 'Kalau kamu punya pacar kayaknya gue bisa berubah deh, Di. Berubah galau....' tapi hal itu urung dia ucapkan.

"Mama selalu bilang, hadapi hari dengan senyum sih. Walau jujur deh, gue susah banget buat senyum hari ini. Dari semalem gue nahan tangis, Di.

Sesek gitu rasanya. Kayak keselek ingus di tenggorokan."

Ardi yang sedang makan roti juga mendadak tersedak. "Sitaaaa, kenapa harus bahas ingus sih?"

"Eh, ampun... Maap!!!! Ya intinya gue nyesek deh!"

Setelah Ardi minum, dia berkata, "Aku ngerti. Aku juga tau kalau kamu sudah pasrah. Be strong, be you.... Ga ada yang lebih baik daripada memaksimalkan apa yang kita punya saat ini."

My Favorite Person!Where stories live. Discover now