20. Hanya kamu, Di.

15.2K 2.5K 560
                                    

Ardi mengetuk pintu kamar perlahan. Di tangannya sudah ada buket bunga, boneka bertuliskan get well soon, dan juga balon berbentuk hati serta sekeranjang mini coklat. Bunganya dari Ardi, boneka titipan Nash dan balon penuh cinta dan coklat tentu saja dari Aska yang Ardi yakin adalah ungkapan hati terpendam si bule manja!

Aska fans berat Dee dee sejak dia melihat Dee menari.

"Can I come in?" ucap Ardi.

"Sure...." balas Dee.

Ardi membuka pintu dengan susah payah karena tangannya penuh. Saat dia melihat ke arah Dee, Dee tersenyum. Dia menyerahkan hadiah-hadiahnya ke Dee.

"Nash and Aska send thousands kisses, they said, they miss you."

Dee meraih salah satu truffle dan memakannya. "Oreo Chocolate, favorite Aska. Dia buat sendiri ya?" tanya Dee yang bibirnya terus menyunggingkan senyum.

Ardi menarik kursi, duduk di sebelah ranjang Dee. "Nash minta dibuatin coklat. You know Aska, mana bisa dia nolak permintaan Nash. Saat tahu aku mau nengok kamu, dia buat untuk kamu juga."

"Aku masih ga nyangka Aska jago buat dessert." Dee menggeleng-gelengkan kepala.

"Aku lebih ga percaya lagi padahal aku kakaknya."

Aska si anak ajaib. Tampang tengil, bibir nyinyir, kelakuan jahil, tapi dari usia tujuh tahun sudah bisa membuat cake sendiri.

Ardi memperhatikan Dee lekat-lekat walau dari tadi dia menahan diri untuk tidak melakukannya karena tak mau membuat Dee tak nyaman namun tetap saja tidak bisa.

Hatinya terasa ngilu melihat lebam, memar, luka yang masih tersisa di pipi, sudut bibir, dan tangan Dee. Entah bagaimana di tempat lainnya, Ardi tak kuasa untuk membayangkan.

"I'm sorry...." ucapnya penuh sesal.

Dee menghela napas panjang. "This is the main reason why I don't want you to come. If you see this bruises..." Dee mengusap bekas memarnya pelan sebelum melanjutkan, "You'll feel sorry. This is'nt your fault, Ardi."

"Aku harusnya ada di sana!"

"Aku yang seharusnya tidak ke sana, Di. I lied to my parents untuk bisa ada di pesta itu, look what happened to me."

Ardi menggelengkan kepala. "Bukan salah kamu...."

Dee balas menatap mata Ardi. "Artinya bukan salah kamu juga. Jangan merasa bersalah karena aku."

Ardi menarik napas panjang untuk menenangkan emosinya. Dee... Bagaimana bisa dia setegar ini setelah semua yang dia lalui.

Ardi ingin menggengam tangannya, memberi dukungan nyata namun dia mengurungkan niatnya. Walau Dee berusaha terlihat tegar di hadapan Ardi, dia tahu, rasa trauma itu pasti ada. Jadi dia diam, mengatupkan kedua tangannya, menunggu Dee sendiri yang bercerita.

"Aku keluar hari ini...."

"Ya,aku tahu, Bunda yang bilang ke aku."

"Aku mungkin tak bisa kembali ke sekolah. Tapi tak masalah, Papa sudah mengatur agar aku bisa tetap mengikuti ujian di rumah.

I'm mad. I'm the victim here dan aku yang diperlakukan seperti pesakitan yang harus dikurung."

"Aku ga suka dengar kata victim, bisa kusebut kamu survivor saja? You are great, Dee."

Dee tersenyum. "You always know what to say to make me feel better."

"What would you do next?" tanya Ardi.

My Favorite Person!Where stories live. Discover now