Pacar atau Sahabat?

1.6K 94 6
                                    

"Kadang Tuhan menguji manusia dengan cinta beda agama hanya untuk memastikan apakah manusia lebih mencintai penciptanya atau ciptaan-Nya"

Beberapa hari ini aku mencoba untuk tidak menggubris Kiki. Sepulang kantor lebih banyak aku habiskan dengan bermain bulutangkis dirumah bersama kedua adik kembarku atau membaca buku.. Waktuku lebih banyak tersita untuk dua kegiatan itu, semata-mata hanya untuk berusaha menjauh dari Kiki. Tapi semakin aku berusaha menjauh, semakin ia muncul dipikiranku.. Aaarrgghhh... Kenapa sih harus dia. Apa mungkin itu karena akhir-akhir ini dia laki-laki yang paling sering menghubungiku akhir-akhir ini? Ataukah karena ia sering sekali datang kerumah walaupun hanya sekitar sepersekian menit hanya untuk membeli perlengkapan mandi, snack atau bahkan titipan rokok dari senior-seniornya?

Ngomong-ngomong soal kebiasaan Kiki berbelanja ke Toko Mama, ada beberapa hal lagi yang aku ingat dan mungkin kalian semua penasaran untuk tau, apa itu.. Ia selalu membeli barang satu per satu dan bolak-balik ke Toko, alih-alih datang satu kali dan belanja sekalian. Dalam sehari ia bisa saja sepuluh kali datang berbelanja ke Toko hanya untuk membeli satu persatu barang keperluannya. Misalnya pasta gigi, sikat gigi, snack, susu kotak kemasan siap minum, permen, coklat, dan lain-lain. Bahkan ia sangat sering membeli satu botol minuman kemasan atau satu kotak susu kemasan siap minum untuk dihabiskan pelan-pelan sambil mengobrol di Toko. Kadang bersama Mama, Papa, aku sendiri, adik-adikku, atau bahkan bersama Mak Ira.

Ia sangat ramah. Siapapun yang datang berbelanja ke Toko pasti disapanya.. Terlebih orangtua, ia bahkan tidak sungkan mencium tangan orangtua (siapapun itu) yang berbelanja ke Toko Mama. Sekedar berbasa-basi menanyakan kabar, menanyakan tinggal di mana, makanya tidak heran selama Kiki rajin datang ke Toko, pelanggan Mama semakin bertambah. Awalnya aku tidak begitu memperhatikan. Tapi lama-kelamaan, semakin terasa bahwa jika Kiki datang mengobrol ke Toko, Mama sering kerepotan melayani pembeli yang membludak. Tak jarang aku meminta Kiki untuk menunggu, sebab aku harus turun tangan membantu Mama, Kak Ani dan Mak Ira.

Sore ini, sepulang kantor, baru saja aku hendak masuk ke dalam satu-satunya kamar yang ada di Toko Mama untuk berganti pakaian, Mama memanggilku dari balik meja kasir.
"Kakaaak.."
"Ya Ma" Jawabku, menghentikan langkahku.
"Tadi Kiki datang" Kata Mama
"Kiki yang tentara itu ya? Kan emang sering datang" Jawabku sekedarnya
"Bukan itu maksud Mama" Kata Mama dengan nada gemas
"Lha, terus Kiki yang mana?" Tanyaku bingung
"Kiki yang tentara itu, tapi dia ngadu" Mama menghela napas panjang.
"Ngadu kenapa?" Tanyaku cepat.
"Katanya Dian ndak balas smsnya. Ditelfon juga ndak diangkat. Nah, beberapa hari kemaren dia kesini juga nggak pernah ketemu Dian, Dian malah main bulu tangkis terus dirumah." Kata Mama
Aiiih.. Ngapain juga sih, hal kecil gitu aja diaduin ke Mama.
"Ma, Dian mau ngomong sesuatu deh. Tapi Dian ganti baju dulu yah" Kataku lalu bergegas masuk ke dalam. Tidak memperdulikan Mama yang memandangku dengan pandangan heran bercampur penasaran.

Setelah selesai berganti pakaian, aku menemui Mama lagi dan langsung duduk di kursi depan meja kasir, tempat Kiki biasanya duduk kalau datang ke Toko. Setelah lumayan sepi pembeli, aku langsung bicara ke Mama.
"Ma, sebenarnya Kiki nembak Dian" Kataku langsung. Peduli amat dengan basa-basi.
"Mama udah tau" Kata Mama sok cuek, udah kayak Paranormal papan atas aja, eh emang ada Paranormal Papan atas??
"Lha, Mama kok udah tau? Dian kan baru aja ngomong" Kataku sedikit merengek
"Kan sebelum nembak udah ijin dulu" Kata Mama sekedarnya
"Iiih, jadi bener dia udah ijin dulu? Kok nekat" Tanyaku ke Mama
"Mana Mama tau."
"Trus Papa tau?" Tanyaku lagi
"Kayaknya. Kemarin Papa ada ngomong sih" Kata Mama ringan
"Trus diijinin?" Tanyaku
"Ngapain ditolak. Toh keputusan ada di tangan Dian kan" Kata Mama lagi.
Huuuufftt... Aku jadi merasa serba salah.
"Kalo menurut Mama gimana?" Tanyaku meminta pendapat
"Kelihatannya orangnya baik" Kata Mama. Just as simple as that.
"Bukan itu maksudnya, Ma.. Terima atau tolak" Pertanyaan bodoh. Sudah jelas-jelas tadi Mama bilang keputusan ada ditanganku.
"Ya jalani aja dulu" Jawaban Mama lumayan mengejutkanku. Herannya Kalimat itu begitu santai meluncur dari bibir Mama.
"Tapi, Ma.. Kalo beda agama kan susah. Mama sendiri kan yang bilang kalo diumur segini udah bukan jamannya Dian buat main-main" Kataku mengingatkan.
"Hmmm" Mama hanya bergumam
"Lagian kalo beda agama ntar harus ada salah satu yang mengalah Ma.. Kan ribet" Kataku lagi
"Kata siapa harus salah satu yang mengalah. Nggak juga. Kenalan Mama juga ada yang nikah beda agama tapi tetap awet. Malah tetap memegang kepercayaan masing-masing sampai meninggal" Kata Mama lagi
"Tapi kan ribet Ma. Mendingan dari awal nggak usah aja kan. Sebelum terlanjur" Kataku lagi
"Namanya juga cinta. Mo gimana lagi." Kata Mama
"Dian kan nggak cinta Ma." Protesku
"Ya udah kalo gitu maunya Dian apa? Trus Dian waktu itu nolaknya gimana?" Tanya Mama kepo
"Ya Dian nggak tau Ma, Dian nolaknya baik-baik kok" Kataku membela diri
"Tapi dia masih rajin datang kerumah lho. Nanyain Dian terus lagi. Kasian, jangan dicuekin terus. Sepertinya dia tulus." Kata Mama menasehati.
"Iya Ma" Kataku mengangguk pelan..
"Tapi Dian maunya temenan aja" Sambungku akhirnya.. Aku rasa, itu pilihan terbaik untuk saat itu..
"Ya gapapa kalo Dian maunya itu, tapi biasanya kalo temenan begitu, persahabatannya bakal langgeng lho" kata Mama..
Aku hanya termenung. Berusaha memahami kalimat yang Mama katakan..
Namun, bisakah seorang laki-laki dan perempuan benar-benar bersahabat tanpa tersiksa dengan saling memendam perasaan satu sama lain?
Terlebih, aku merasa semakin sering memikirkannya..

Ya Tuhan, apa yang harus kuperbuat??

From Earth to Heaven ( Mencintai Prajurit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang