21- Moment

3.1K 258 19
                                    

Lalu, kamu menjebaku lagi diantara kebingungan.
***

Azka sedari tadi tak bisa duduk dengan tenang. Berkali-kali embusan napas keluar dari hidungnya. Kernyitan di dahi tak ketinggalan menghiasi. Entah apa yang sedang dipikirkan karena dirinya akan menggelengkan kepala saat Bian menanyakan kegusarannya.

Derita kayu bergesekan dengan lantai kembali terdengar. Azka lagi-lagi merubah posisi duduknya secara sembarang. Hal tersebut membuat Bian yang tengah membaca buku di sebelahnya berdecak, merasa terganggu.

"Lo kenapa, sih, nggak bisa diem dari tadi?" Bian menendang kursinya hingga hampir terjengkang.

Azka melotot, tapi tetap mengatupkan bibirnya. Ia menumpukan kedua tangan di atas meja dan menidurkan kepala menyamping, membelakangi sahabatanya. Bian menggeleng melihat tingkahnya sebelum kembali fokus pada bacaannya.

Beberapa menit kemudian, Azka menegakan tubuh, menatap sendiri punggung mungil di depannya yang bergetar karena tertawa. Rambut hitam sepunggung itu ikut bergoyang, seirama dengan gerakan kepalanya.

Penampilan Maura kini terlihat lebih rapi dan menarik. Namun, setelah kejadian itu, ia merasa ada yang berbeda. Tidak ada lagi tatapan lugu di mata cewek itu, hanya obsesi.

Merogoh saku celananya, Azka menatap selembar kertas berwarna oranye. Mendesah berat, cowok itu meremas dan melemparkan asal hingga terinjak beberapa teman sekelasnya yang berlarian.

Kertas itu ... sama dengan kumpulan kertas yang dimiliki Maura.

Ya, memang Azka lah orangnya. Si misterius yang sebenarnya merupakan sosok pengecut.

"Yan," panggilnya pada Bian yang hanya berdehem.

"Lo sejak kapan suka sama Kiana?"

Pertanyaan tersebut membuat Bian langsung menatapnya. "Lo lagi suka sama cewek?"

Azka berdecak. "Malah balik nanya."

"Tapi bener, kan? Ngaku lo!" Bian menggoyangkan badannya agar mengaku.

"Nggak! Cuma iseng nanya," elak cowok itu melepaskan tangan yang bertengger di bahunya.

"Masa? Nggak percaya gue. Orang dari pagi keliatan jelas galau banget." Bian yang sudah melupakan bacaannya terus memaksa Azka untuk mengaku. "Siapa cewek itu? Temen sekelas kita?"

"Bukan. Udahlah nggak usah dibahas lagi," pintanya menyandarkan punggung. Tatapannya tertuju pada bangku Maura yang kosong. Ke mana cewek itu?

"Siapa, sih? Gue udah terlanjur penasaran, nih." Bian menampakan raut prihatinnya, "Siapa, sih, dia? Kasian banget di taksir sama elo."

Azka memutar bola matanya. "Buat apa lo tau? Lagian dia juga nggak suka sama gue." Raut muka cowok itu berubah sedih.

Bian jadi ikut prihatin mendengarnya. Namun, tetap saja ia tak bisa membuang rasa penasarannya. "Ganti pertanyaan, deh. Sejak kapan Lo suka sama dia?"

Azka sempat terdiam. Menimang untuk menceritakan kisah percintaannya atau tidak. Melihat raut serius sahabatanya, pada akhirnya ia tergiur untuk bercerita.

"Gue udah suka sama dia lama bahkan sebelum dia ngenalin gue," ucapnya jujur.

"Waw, kok bisa?"

Azka mengangguk. Pikirannya berkelana menuju beberapa bulan sebelum masuk sekolah yang sekarang ia tempati. "Ada seseorang yang selalu nyeritain tentang dia sama gue. Sampai gue penasaran setengah mati buat liat wajahnya. Setelah gue dapet kiriman foto, untuk pertama kalinya gue nggak bisa ngalihin pandangan. Ada semacam perasaan aneh dan gue nggak bisa berhenti mandangin dia." Cowok itu menjelaskan panjang lebar. Tersadar, Azka mengacak rambutnya, "Gue kok jadi melow kayak gini, ya?"

(Not) With You (Revisi)Where stories live. Discover now